Oleh: Meuthia Ganie-Rochman
JAKARTA, KOMPAS - Panitia Seleksi KPK telah menetapkan delapan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diajukan Presiden ke DPR. Berbeda dengan cara pengajuan calon terpilih oleh panitia seleksi yang lalu, pansel kali ini menetapkan nama-nama tersebut dalam suatu model pembidangan, yaitu penindakan, pencegahan, manajemen, dan pengawasan/monitoring.
Lepas dari kerangka Pansel KPK dan berbagai reaksi yang diajukan dari anggota/kelompok masyarakat, penulis akan mengajukan pemikiran berdasarkan keahlian sebagai ahli sosiologi organisasi dan riset selama dua tahun berkaitan eksistensi KPK. Penulis ingin membagi persoalan KPK dalam dua wilayah besar, yaitu politik dan organisasional.
Wilayah politik
Didirikannnya suatu lembaga anti korupsi hampir selalu merupakan hasil dari suatu pemikiran bahwa korupsi merupakan persoalan serius bagi suatu negara. Korupsi dipercaya dapat menghancurkan basis ekonomi yang sehat, pelencengan sistem politik dan disintegrasi dalam masyarakat. Lembaga anti korupsi didirikan oleh para elite politik, baik karena pikiran progresifnya atau karena desakan masyarakat yang kuat. Di Indonesia, KPK didirikan dengan kewenangan yang lebih lengkap daripada lembaga penegak hukum lainnya dan mendapatkan bantuan penguatan pendirian fondasi organisasi dari berbagai organisasi dalam dan luar negeri.
Meski demikian, KPK menghadapi korupsi yang dihasilkan dari ketimpangan kekuasaan warisan rezim yang lalu, persaingan politik yang tinggi setelah reformasi, dan kelemahan institusi negara. Faktor-faktor ini membuat korupsi meluas (melibatkan aktor yang beragam) dan mendalam (merasuki pusat-pusat politik dan ekonomi strategis). Kondisi ini mutlak perlu penguatan organisasi anti korupsi yang membutuhkan dukungan politik, di samping penguatan teknokrasi kelembagaan. Pelajaran di semua negara, lembaga anti korupsi agar berhasil selalu membutuhkan dukungan politik yang besar.
Dukungan politik membawa implikasi perluasan ruang gerak lembaga anti korupsi. Dukungan politik menghambat penetrasi kepentingan dari aktor politik lain untuk melemahkan organisasi ini, misalnya melalui pelemahan wewenang. Dukungan politik akan mendorong pimpinan di lembaga publik untuk menerima lembaga anti korupsi agar membawa pembaruan sistematis di lembaganya. Dukungan politik juga memungkinkan alokasi sumber daya negara untuk lembaga anti korupsi diperbesar.
Penguatan kelembagaan
Penguatan kelembagaan meliputi pengelolaan internal dan eksternal. Penguatan internal meliputi penguatan kerangka kerja, instrumen dan mekanisme knowledge management, prosedur dalam organisasi dan sumber daya manusia. Kejelasan kerangka adalah dasar konseptual arah organisasi ini ke depan.