Oleh: Asep Salahudin
JAKARTA, KOMPAS - Sudah lebih dari dua bulan masyarakat kita terkena tenung batu akik. Tampaknya fenomena seperti ini belum hendak berakhir kalau tidak boleh dikatakan kian menjadi-jadi.
Batu akik digali, dibelah, dihaluskan, digosok, diwatangan, dan pada akhirnya disematkan di jari. Bukan hanya jari manis, kalau perlu kelingking, telunjuk, dan jempol sekaligus.
Bukan hanya batu akiknya yang menarik, justru percakapan tentangnya yang nyaris mengokupasi akal sehat. Tidak ada sebuah pertemuan, bahkan ketika hendak bersembahyang menuju rumah Tuhan sekalipun kecuali sang akik terlebih dahulu didiskusikan di "ruang publik" dengan semangat dan penuh minat.
Bersyukurlah rezim Jokowi. Masyarakat negeri kepulauan ini sudah tak menghiraukan lagi kenaikan harga bahan bakar minyak, beras yang mencekik, rupiah yang melemah, imaji pemberantasan korupsi yang kian menyusut. Warga bangsa lebih tertarik memburu dan membeli batu akik dengan cara musyawarah mufakat.
Atau sebaliknya, kalau penguasa masih memiliki keajekan nalar, seharusnya mereka tersinggung sebab rakyatnya ternyata merasa lebih penting memperhatikan batu akik ketimbang menyimak bualan pemimpinnya. Rakyat merasa lebih memercayai batu akik ketimbang menyambut positif eksekusi Undang-Undang Desa yang hendak menebarkan uang miliaran rupiah dan atau apalagi memberikan sambutan sorak sorai usulan tak alang kepalang Menteri Dalam Negeri untuk menggelontorkan APBN bagi pembiayaan partai sampai angka menyentuh triliunan rupiah. Juga merasa tidak penting sama sekali memperhatikan partai yang terkeping akibat para pengurusnya yang tidak pernah henti bersengketa.
"Counter culture"
Bagi saya, batu akik pada titik tertentu hadir sebagai counter culture khalayak atas segenap janji penguasa yang tidak memiliki paralelisme dengan entitas tindakan politik hariannya. Nawacita kian lamat terdengar seiring revolusi mental yang kehilangan gema. Program utama memberikan kepastian hukum juga malah menampakkan gejala kontraproduktif dengan mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan usulan pemberian remisi kepada koruptor. Atau gambaran mencolok seorang nenek Asyani yang "mencuri" barang tak berharga, ia rela menyembah sang hakim yang dengan "tegas" hendak menegakkan keadilan seperti fotonya yang terpampang di halaman muka harian Kompas.
Massa dengan kesenangan barunya itu seperti sedang mengolok-olok kaum penguasa: bahwa ini hari telah kembali ke zaman batu, 7.000 tahun sebelum Masehi. Orde paleolitikum (mungkin juga mesolitikum, neolitikum, dan megalitikum) dengan keriuhan logika yang dikedepankan kerumunan manusia semacam Pithecanthropus erectus, Homo wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis.
Semacam "menhir" (sebuah monumen yang terbuat dari batu) yang menunjukkan alamat tentang zaman ketika intelektualisme dihinakan, moralitas mengalami defisit, darurat akhlak terjadi di mana-mana, dan kebencian atas nama agama dirayakan dengan gempita.
Setiap orde punya bahasa parodinya sendiri dalam "menertawakan" kekuasaan. Mulai dari bahasa pohon yang dibonsai, ikan louhan, kembang gelombang cinta, yang kesemuanya nyaris harganya tidak masuk akal. Masyarakat kita sudah terbiasa membungkus alam pikirannya dalam balutan ungkapan metaforis, dalam bahasa yang banyak meminjam diksi seputar flora dan fauna, memilih "komunikasi tinggi" ketimbang "komunikasi rendah".
Artinya, batu akik pada titik tertentu memiliki interaksi simbolik dengan kepercayaan yang bersifat perennial-universal tentang kedatangan Ratu Adil, tetapi dengan memori kolektif yang terbalik. Kira-kira narasi verbalistiknya adalah "Ketimbang terus menunggu kedatangan Ratu Adil, mari kita sambut bersama-sama kedatangan sang messianistik batu akik! Toh, Ratu Adil mempunyai banyak kesamaan dengan karakteristik batu akik".
Serupa Ratu Adil
Seperti sang Ratu Adil, tidak sedikit masyarakat yang melekatkan daya mistikal pada batu akik. Bukan saja nama dan usul-usul geografisnya yang sangat beragam, melainkan juga fungsi dan khasiat yang tersimpan di dalamnya. Bahkan, hikayat batu akik sejatinya jauh lebih tua daripada usia Republik Indonesia dan Sumpah Pemuda, lebih berumur ketimbang Serikat Dagang Islam, Budi Utomo, apalagi perhimpunan ormas berhaluan keras, dan lebih "berpengalaman" dibandingkan dengan sengkarut kelompok agamawan memperebutkan bendera Tuhan.
Persis yang dibilang sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Ratu Adil (1984) bahwa Ratu Adil atau Juru Selamat (mesianisme), Kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revitalisme) atau menghidupkan kembali (revivalisme) muncul ketika kondisi masyarakat "mengalami diskriminasi dan penindasan sosial ekonomi yang tak terkira, saat khalayak tidak mendapatkan jaminan hari depannya". Seperti juga ditengarai Ir Soekarno dalam sebuah pleidoinya yang disampaikan pada sebuah persidangan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1930: