"Haraplah pikirkan tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya 'Ratu Adil', apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat. Apakah sebabnya sering kali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang 'Imam Mahdi' atau 'Heru Cakra' atau turunan seorang Wali Sanga. Tak lain tak bukanlah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak berhenti-hentinya, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harapkan: kapan, kapankah matahari terbit."
Cerita batu akik juga terselip pada riwayat Ratu Adil dalam ramalan pujangga Jayabaya pada abad XI, ramalan Sabdo Palon masa akhir Kerajaan Majapahit dan pujangga Ronggowarsito atau juga mungkin dalam Kitab Musarar (kidung karya seorang pujangga Surakarta yang disusun tahun 1675 Saka atau tahun 1749 Masehi), dan dalam Kitab Jangka Ratu, sebuah kidung gubahan seorang panembahan di Madura dengan nama yang tidak terlacak. Literasi Arab lebih banyak lagi mengupas ihwal batu akik: mulai dari penjelasan yang bersifat sosiologis, teologis, sampai eskatologis.
Spirit manusia pergerakan
Entahlah! Mungkin inilah yang diperlukan bangsa kita hari ini: membuat "dolmen", semacam batu besar yang terletak di bawah menhir untuk menghidangkan sesajen yang dipersembahkan bagi arwah leluhur. Kita perlu merawat dan menghidupkan lagi spirit manusia pergerakan tentang visi republikanisme-kebangsaan yang hari ini semakin menjauh dari cita-cita yang telah ditancapkan mereka.
Batu akik yang sekarang digandrungi massa semestinya dibaca sebagai sebuah interupsi ideologis-politis tentang pentingnya melakukan perjanjian kembali dengan manusia pergerakan agar kita tidak terpelanting ke zaman batu.
Kita perlu menyuntikkan kembali khitah bernegara dengan cara berbait lagi kepada Bung Karno, seperti ditulis Charil Anwar dalam sebuah sajaknya: "Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/Aku sudah cukup lama dengan bicaramu/dipanggang diatas apimu, digarami lautmu/Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945/Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/Aku sekarang api aku sekarang laut/Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh."
Asep Salahudin
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Senin (6/4/2015).