JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo diusulkan agar membentuk panitia seleksi (pansel) sebelum menunjuk calon kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Selain mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari, pelibatan pansel dinilai akan menghindarkan Jokowi dari beban politik.
"Saya kira rekam jejak calon kepala BIN harus terbuka, diketahui publik. Harus diingat, BIN adalah mata dan telinga Presiden. Maka, perlu dicari calon yang lebih independen dan bersih," ujar Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi dalam diskusi di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/2/2015).
Hendardi mengatakan, calon kepala BIN harus memiliki kompetensi dalam memberikan produk intelijen yang kontributif, bebas dari kepentingan politik tertentu, serta bebas dari dugaan keterlibatan kasus HAM berat.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, Choirul Anam, mengatakan bahwa BIN harus menjadi suatu lembaga negara yang dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Menurut dia, kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir, beberapa tahun lalu, diduga melibatkan hampir seluruh anggota BIN pada saat itu.
Choirul menambahkan, dalam memilih calon kepala BIN, Presiden Joko Widodo perlu meminta masukan publik, termasuk dari kalangan independen. Jika calon kepala BIN tidak memiliki rekam jejak yang bagus, maka lembaga intelijen tersebut dikhawatirkan akan menjadi instrumen pencari kekuasaan politik.
"Panitia seleksi akan mengurangi beban politik Jokowi. Namun, di sisi lain, panel tersebut akan membantu Jokowi untuk lebih profesional dalam memilih kepala BIN," kata Choirul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.