JAKARTA, KOMPAS.com - Komisoner Komisi Yudisial (KY) Ibrahim mempertanyakan barometer yang digunakan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menolak calon hakim agung yang telah mereka rekomendasikan. Menurutnya, sah-sah saja jika DPR memutuskan untuk menolak seluruh calon hakim agung. Pasalnya, hal tersebut memang merupakan kewenangan mereka. Namun penolakan itu, lanjut Ibrahim, harus dilakukan dengan barometer yang jelas.
"Penolakan DPR adalah urusan DPR. Yang penting publik tau penolakan itu ada dasarnya. Harusnya ada barometer yang terukur," kata Ibrahim dalam diskusi bertajuk "Nasib Penegakan Hukum di Tahun Politik" di Jakarta, Selasa (18/2/2014) siang.
Sebelumnya, Komisi III DPR menolak tiga calon hakim agung yang KY, yakni Suhardjono, Maria Anna Samiyati, dan Sunaro. Penolakan tersebut berdasarkan hasil pemungutan suara yang digelar di Ruang Komisi III DPR. Salah satu anggota Komisi III, Eva Kusuma Sundari menuturkan, jawaban ketiga Calon Hakim Agung tersebut tak ada yang memuaskan saat ditanya mengenai isu nasional seperti HAM dan Pengadilan Militer.
Ibrahim menjelaskan, KY telah melakukan proses seleksi yang objektif dan transparan, serta memenuhi berbagai prosedur yang telah ditetapkan. Calon Hakim Agung itu, menurut dia, juga mengerti betul aspek-aspek hukum yang akan digunakannya saat menjalankan tugas nanti.
Jika DPR menolak Calon Hakim Agung yang KY usulkan karena mereka tidak lancar dalam menjawab pertanyan yang diajukan, maka Ibrahim menilai, DPR telah salah dalam menggunakan barometer. Pasalnya, menurut dia, seorang hakim bukan lah komentator yang harus selalu lancar dalam menjawab setiap pertanyaan.
"Hakim itu kan pada dasarnya harus diam, hakim tidak boleh mengomentari putusannya. Dia tidak boleh banyak berkomentar di publik," jelas Ibrahim.
Apapun keputusan yang diambil DPR, Ibrahim berharap hal tersebut tidak didasarkan oleh kepentingan-kepentingan politik semata. Kedepannya, menurut dia, bukan tidak mungkin mekanisme seleksi Calon Hakim Agung oleh KY direvisi, sehingga tidak terus menerus mendapatkan penolakan oleh DPR. "Metode seleksi sejauh ini sebenarnya sudah cukup baik, namun untuk kesempurnaan saya rasa tidak ada salahnya (direvisi), pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.