JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, UU MK hasil revisi dibatalkan MK.
"Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali," Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di ruang sidang utama Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/2/2014).
Dengan putusan tersebut, substansi UU No 4 Tahun 2014 yang menyangkut persyaratan calon hakim konstitusi, pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menjadi hilang. Aturan tersebut dibuat pascaterungkapnya kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ketua MK saat itu, Akil Mochtar.
Apa yang menjadi pokok pertimbangan mahkamah mengabulkan gugatan pemohon? Terkait aturan pengangkatan hakim konstitusi, Mahkamah berpendapat bahwa UUD 1945 sudah mengatur materi itu dalam pasal 24C Ayat (3). Dalam pasal tersebut, sembilan hakim konstitusi berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Menurut MK, Panel Ahli yang dibentuk Komisi Yudisial dianggap mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Awalnya, Panel Ahil itu yang akan menyeleksi calon hakim MK.
Terkait calon hakim konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun sebelum diajukan, Mahkamah berpendapat, ayat tersebut dibuat berdasarkan stigma yang timbul dari masyarakat. Stigmatisasi seperti ini dinilai menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang haknya dijamin oleh UUD 1945.
Adapun terkait keterlibatan KY dalam pembentukan MKHK, menurut Mahkamah, KY bukanlah lembaga pengawas dari MK, apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan.
Selain itu, Mahkamah berpendapat, pembentukan Perppu yang kemudian menjadi UU MK dinilai tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Meskipun kegentingan yang memaksa menjadi subjektifitas Presiden, menurut MK, subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya sesuai yang disyaratkan konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.