Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merajut Ikatan yang Terkoyak

Kompas.com - 21/02/2011, 10:55 WIB

Sultani Upaya menoleransikan perbedaan sosial pada level kehidupan individu dan keluarga di negeri ini sebenarnya masih tampak menjanjikan. Namun, mengapa pada jenjang kehidupan masyarakat justru peniadaan perbedaan yang kerap kali diekspresikan?

Amuk massa dan semakin mudahnya masyarakat terprovokasi untuk melakukan kekerasan menjadi pemandangan akhir-akhir ini. Kekerasan, yang bahkan sampai memakan jiwa manusia, sangat kontras dengan semangat reformasi dan keinginan berdemokrasi yang hendak dibangun. Buah reformasi, di antaranya keharusan negara mengakomodasi semua kebebasan berekspresi dan berorganisasi melalui pembentukan partai politik dan organisasi massa, menjadi terasa masam.

Betapa tidak, keragaman yang direpresentasikan oleh sistem multipartai dan multiormas tersebut sejatinya menjadi landasan yang kuat untuk membangun sebuah sistem demokrasi yang kuat. Namun, hal itu justru menjadi bumerang yang merobek persatuan bangsa Indonesia.

Yang lahir, tak sedikit, gerakan-gerakan komunal radikal berbasis agama dan etnis yang menebar virus intoleransi, menginterpretasikan realitas sosial hanya dalam bingkai ideologi yang dianutnya. Semakin mengerikan lagi jika dalam praktiknya, kelompok massa ini memaksakan kehendak dengan cara-cara kekerasan, seperti penyerangan, pemukulan, perusakan, hingga pembunuhan.

Resah Inilah fakta yang tengah berlangsung, sekaligus menjadi fokus keresahan sosial masyarakat saat ini. Dari jajak pendapat ini terungkap bahwa hampir seluruh responden mengaku resah dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan ormas. Sekitar 93,1 persen responden menilai cara-cara intimidasi seperti penyerangan terhadap pengikut agama tertentu sangat meresahkan mereka. Aksi ormas yang juga dipandang meresahkan responden adalah penutupan atau perusakan tempat-tempat ibadah kelompok agama minoritas dan aksi unjuk massa.

Fakta lain, sebagaimana yang tersingkap dari hasil jajak pendapat, perbedaan sebenarnya sudah menjadi suatu realitas sosial yang teralami, yang bahkan sudah sedemikian kuat melekat, menjadi keseharian dalam kehidupan di negeri ini.

Setidaknya, berdasarkan pengakuan responden dalam berbagai jajak pendapat yang dilakukan selama ini, mereka (pada level individu) terbiasa hidup dalam keragaman identitas ataupun eksistensi sosial, ekonomi, atau politik. Lebih dari itu, tatkala berkaitan dengan individu lainnya, upaya menoleransikan perbedaan pun kerap dipraktikkan dalam keseharian.

Menjadi semakin lengkap praktik menoleransikan perbedaan tersebut terjadi dalam level kehidupan keluarga. Bagian terbesar responden menyatakan bahwa penerimaan terhadap identitas ataupun status sosial, ekonomi, atau politik yang disandang para anggota keluarga mereka saat ini tergolong baik.

Bahkan, penerimaan terhadap faktor yang selama ini dikenal amat sensitif: pilihan agama, ajaran keimanan, ataupun suku bangsa yang berbeda dalam satu keluarga, misalnya, masih ditoleransikan oleh bagian terbesar responden.

Sebagian besar (67,4 persen) responden, yang menganut satu agama yang sama di keluarga mereka, mengaku bahwa di antara anggota keluarga mereka terdapat juga yang memiliki pandangan ataupun penafsiran keagamaan yang berbeda. Lebih jauh dari itu, terdapat juga responden yang bisa menerima saudara-saudara mereka yang memilih keyakinan agama yang berbeda. Tak heran jika terhadap kondisi demikian, 55 persen responden menilai toleransi dalam keluarga mereka ”baik”, dan bahkan 21 persen responden lain menyatakan saat ini berlangsung ”semakin baik”.

Negara dibutuhkan Persoalannya kini, apabila toleransi sosial masih terekat erat hingga level keluarga, mengapa pula kondisi demikian menjadi luruh di level masyarakat sejalan dengan munculnya sikap ataupun aksi permusuhan yang bahkan berujud kekerasan?

Inilah situasi mengkhawatirkan, putusnya rajutan toleransi masyarakat di negeri ini. Bagi mayoritas publik, persoalan sebenarnya sederhana saja. Mayoritas bersikukuh bahwa rajutan toleransi harus dikembangkan dan dijaga. Tidak cukup hanya berbekal potensi positif yang dimiliki individu ataupun keluarga dalam merajut toleransi tersebut. Negara amat dibutuhkan.

Dalam hal ini, negara bersama perangkat penegakan hukumnya harus tampak sigap dan kuat dalam mengantisipasi ataupun menindak setiap kekuatan yang berpotensi mengoyak ikatan sosial masyarakat. Sayangnya, sejauh ini berbagai upaya mengoyak rajutan toleransi dalam masyarakat tetap saja terbiarkan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kisah Ayu, Bidan Dompet Dhuafa yang Bantu Persalinan Saat Karhutla 

Kisah Ayu, Bidan Dompet Dhuafa yang Bantu Persalinan Saat Karhutla 

Nasional
Dinilai Berhasil, Zulhas Diminta PAN Jatim Jadi Ketum PAN 2025-2030

Dinilai Berhasil, Zulhas Diminta PAN Jatim Jadi Ketum PAN 2025-2030

Nasional
Jokowi Bagikan 10.300 Sertifikat Tanah Hasil Redistribusi di Banyuwangi

Jokowi Bagikan 10.300 Sertifikat Tanah Hasil Redistribusi di Banyuwangi

Nasional
TNI AL Latihan Pendaratan Amfibi di Papua Barat, Libatkan 4 Kapal Perang

TNI AL Latihan Pendaratan Amfibi di Papua Barat, Libatkan 4 Kapal Perang

Nasional
Tengah Fokus Urus Pilkada, Cak Imin Bilang Jatim Bakal Ada Kejutan

Tengah Fokus Urus Pilkada, Cak Imin Bilang Jatim Bakal Ada Kejutan

Nasional
Targetkan Sertifikasi 126 Juta Bidang Tanah, Jokowi: Presiden Baru Tinggal Urus Sisanya, Paling 3-6 Juta

Targetkan Sertifikasi 126 Juta Bidang Tanah, Jokowi: Presiden Baru Tinggal Urus Sisanya, Paling 3-6 Juta

Nasional
BNPT Apresiasi 18 Pengelola Objek Vital Strategis dan Transportasi

BNPT Apresiasi 18 Pengelola Objek Vital Strategis dan Transportasi

Nasional
Kemenpan-RB Harapkan Pendaftaran CASN Segera Dibuka, Instansi Diminta Kebut Isi Rincian Formasi

Kemenpan-RB Harapkan Pendaftaran CASN Segera Dibuka, Instansi Diminta Kebut Isi Rincian Formasi

Nasional
Pimpinan MPR Minta Pemerintah Tak Ragu Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

Pimpinan MPR Minta Pemerintah Tak Ragu Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Nasional
Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Nasional
Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Nasional
KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

Nasional
Jokowi: 'Feeling' Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Jokowi: "Feeling" Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Nasional
Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com