JAKARTA, KOMPAS.com — Komite Kebebasan Pers Internasional menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam atas terus berlangsungnya pengekangan terhadap jurnalis di Indonesia. Utamanya, pernyataan itu disampaikan menanggapi dijatuhinya hukuman bagi mantan Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia, Erwin Arnada.
Dalam siaran persnya yang diterima Kompas.com, Sabtu (23/10/2010), Komite itu menyebutkan, Playboy Indonesia bahkan sudah dipersoalkan sejak 2007 ketika majalah itu belum terbit.
Menurut mereka, Kejaksaan Agung Indonesia telah meremehkan fakta bahwa majalah itu bukanlah majalah yang bisa dikategorikan porno atau tak senonoh. "Kami tahu tidak ada foto telanjang dalam majalah itu," tulis Helen Bland, Secretary Interntional Freedom Periodical Pers (FIPP), yang merupakan anggota Komite Kebebasan Pers Internasional.
Seperti diberitakan, Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan pengadilan banding dan menghukum Erwin Arnada dua tahun penjara. Erwin pun menyerahkan diri dan kini mendekam di lembaga pemasyarakatan.
Dikatakan Helen, putusan itu sangat sulit dilepaskan dari adanya tekanan politik mengingat Erwin selama proses hukum selalu bersikap kooperatif sehingga mestinya tidak perlu ditahan.
"Kami memahami bahwa masyarakat Indonesia mempunyai norma kesopanan sendiri, tetapi hal itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab berkait pada standar internasional kebebasan pers dan kebebasan berpendapat," kata Helen. Sebab, lanjutnya, Indonesia telah menandatangani Deklarasi Universal tentang Hak Asasi manusia. Indonesia juga sudah punya Undang-Undang Pers yang mengatur penyelesaian mengenai pemberitaan sehingga tidak perlu berujung pada pemenjaraan jurnalis.
Karena itu, FIPP mendesak Mahkamah Agung Indonesia dalam menangani permohonan peninjauan kembali oleh kuasa hukum Erwin Arnada lebih mempertimbangkan UU Pers dibandingkan hukum pidana. "Harus disadari bahwa pemenjaraan wartawan bukan hanya mencederai standar kebebasan pers internasional, tetapi juga akan berdampak pada merosotnya kebebasan pers di Indonesia," katanya.
FIPP bahkan juga mendesak agar Kejaksaan Agung segera membebaskan Erwin Arnada, mengingat tidak ada kepentingan hukum apa pun memenjarakannya sambil menunggu putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.