JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap dan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta polemik tentang hak memilih prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihentikan, menyusul pendapat pro dan kontra yang muncul, memicu pertanyaan dari banyak kalangan. Permintaan tersebut dinilai aneh karena perdebatan dan pembahasan yang muncul saat ini terkait hak memilih prajurit TNI diyakini sudah mengarah ke perkembangan positif dengan mencoba mencari solusi atas persoalan yang terus berulang mengemuka dan dipermasalahkan di masyarakat.
Sikap menyayangkan tersebut disuarakan Bima Arya Sugiarta dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan pengamat politik Universitas Indonesia (UI) boni Hargens, Kamis (24/6/2010), usai keduanya berbicara dalam diskusi publik bertema Sistem Multipartai dan Stabilitas Politik.
"Setelah wacana tentang itu dibuka sendiri oleh Presiden Yudhoyono, saya lihat perkembangan pembahasannya sangat hidup dan bagus. Aneh kalau kemudian mau distop. Lalu kenapa kemarin dibuka? Momen ini seharusnya berlanjut dengan pembahasan signifikan oleh semua pihak terkait," ujar Bima.
Bima mengingatkan opini publik tidak bisa distop apalagi direkayasa. Apalagi mengingat isu tersebut sangat relevan dengan revisi Undang-Undang Politik dan Pemilu. Selain itu persoalan ini juga akan sampai pada kesimpulan soal apakah proses reformasi internal TNI sudah benar dan berjalan sesuai yang diinginkan.
Dalam kesempatan sama, Boni Hargens menilai apa yang dilakukan Presiden Yudhoyono sebagai langkah uji coba (testing the water) dengan melempar isu terkait masalah tersebut. Dia meyakini, pengembalian hak memilih TNI adalah strategi lain dengan agenda tertentu menjelang pemilu mendatang.
"Saya melihat langkah itu sebagai salah satu cara Presiden Yudhoyono untuk menjadi alternatif kekuatan tambahan yang bisa melindungi sistem kekuasaan sekarang. Apalagi banyak terjadi turbulensi dan konflik politik akibat perseteruan yang muncul antara sejumlah parpol seperti PKS, Partai Golkar, dan peserta koalisi lain," ujar Boni.
Menurut Boni, sejarah membuktikan militer piawai dalam berpolitik dan punya kemampuan untuk memobilisasi massa. "Tambah lagi di masyarakat, terutama di daerah-daerah, masih menganggap militer sebagai sosok yang disegani, dihormati, serta wajib dituruti. Belum lagi tentara punya kemampuan mengintimidasi. Harus diingat 60 persen pemilih kita berada di daerah-daerah, yang jauh dari pemerintahan pusat dan rentan serta rawan praktik intimidasi. Boleh jadi Presiden Yudhoyono mau meniru negara maju, tentara bisa ikut pemilu. Tapi dia lupa, tentara kita di sini masih pretorian," ujar Boni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.