Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya "Presidential Threshold" Menurut Golkar

Kompas.com - 06/05/2017, 12:17 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com -
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai perlu ada ambang batas mengusung calon presiden atau "presidential threshold" untuk memperkuat pemerintahan.

Jika tidak, dia khawatir kekuatan parlemen yang menentang kebijakan pemerintah justru lebih besar.

"Presidential threshold 25 persen suara dan 20 persen kursi menunjukkan dukungan ke presiden. Presiden harus didukung partai yang sudah teruji di pemilu sebelumnya," ujar Ace, dalam diskusi Perspektif Indonesia di Jakarta, Sabtu (6/5/2017).

Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan, jangan sampai kebijakan pemerintah dijegal oleh DPR RI hanya karena presiden tak memiliki dukungan kuat dari parlemen.

"Jadi siapapun yang terpilih bisa didukung parlemen yang kuat," kata dia.

Alasan Golkar mendorong adanya ambang batas yakni untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, nyatanya, saat ini seolah yang terbentuk adalah sistem parlementer.

"Begitu dominannya parlemen untuk mengambil keputusan negara karena tidak solid dukungan pemerintahan, ya terjadi seperti ini," kata Ace.

Menurut Ace, pemerintahan bisa berjalan efektif jika sejak awal konfigurasi dukungan politik di parlemen kuat. Konfigurasi tersebut, kata dia, terbentuk sejak pemilu serentak periode sebelumnya.

"Sejak pendaftaran capres, pengelompokkan politik sudah jelas. Kami harap dengan pengelompokkan tidak hanya proses pemetaan kelembagaan politik, tapi juga penguatan presidensialisme," ucap Ace.

(baca: Ini Alasan Pemerintah Dorong "Presidential Threshold" 20-25 Persen )

Menurut Ace, dari 10 fraksi di DPR, hanya empat fraksi yang mendukung Pemilu 2019 berlangsung tanpa adanya ambang batas mengusung calon presiden, yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

Selebihnya tetap menghendaki adanya ambang batas untuk mengusung calon presiden.

Kompas TV Dalam RUU Pemilu, dari 18 isu krusial, hanya akan ada tiga isu yang akan divoting oleh panitia khusus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com