Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Keberatan Korporasi Dipidana

Kompas.com - 24/02/2017, 15:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha keberatan terhadap pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pidana Korporasi. Pemidanaan korporasi yang terlibat dalam tindak kejahatan, termasuk korupsi, dianggap berlebihan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemerintah perlu bersikap proporsional dalam pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi juga kerap kali datang dari pihak pemerintah.

Ia mencontohkan adanya usaha dari oknum pemerintah yang menghambat perizinan. Jika diberikan imbalan, oknum pemerintah itu baru memberikan kemudahan dalam perizinan.

"Ini sudah rahasia umum bahwa pemerintah sendiri yang meminta bayaran untuk perizinan ataupun proyek kepada pihak swasta," katanya saat dihubungi pada Kamis (23/2/20q7).

Penindakan korupsi hingga menyeret korporasi pun, menurut Hariyadi, merupakan kebijakan berlebihan karena korporasi adalah institusi. Hal itu tak ubahnya dengan Mahkamah Konstitusi yang beberapa hakimnya terbukti menerima suap.

(Baca: Perusahaan Tersangka Penyuap Patrialis Terancam Pidana Korporasi)

"Oknum hakim di MK, kan, yang melakukan korupsi. Apa lantas MK juga diseret ke pengadilan? Kan, tidak demikian. Begitu juga dengan perusahaan, mengapa harus ikut diseret ke pengadilan," katanya.

Ia menegaskan, pengusaha jelas keberatan jika institusi korporasi ikut diadili dalam suatu perkara. Sebab, peradilan di Indonesia saat ini belum bebas dari kepentingan politik. Sementara pemerintah juga belum memberikan jaminan aman dan nyaman dalam menjalankan usaha di dalam negeri.

"Jika ada penguasa yang ingin sebuah perusahaan hancur, dia bisa seenaknya menggunakan perma itu. Pengusaha dibuat semakin lemah jika demikian," katanya.

Sementara itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan, penanganan korupsi kini tidak hanya fokus pada institusi negara, tetapi juga korporasi yang berkepentingan dengan kewenangan penyelenggara negara.

(Baca: KPK Bisa Usut Kasus Korupsi Lama yang Diduga Libatkan Korporasi)

Ke depan, korporasi yang tidak melaksanakan pencegahan dan terbukti memberikan gratifikasi atau hadiah kepada penyelenggara negara dapat dimasukkan ke dalam daftar hitam.

"Masa pemberlakuan daftar hitam pada korporasi yang menyuap penyelenggara negara sedang dirumuskan KPK bersama Mahkamah Agung," ucapnya.

Perma No 13/2016 mengatur, korporasi dianggap sebagai subyek hukum pada hukum acara pidana sehingga dapat diadili.

Pasal 4 Perma itu mengatur, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang korporasi. (MDN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2017, di halaman 3 dengan judul "Pengusaha Keberatan Korporasi Dipidana".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com