JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan suap yang menyeret nama Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membangunkan kembali kesadaran publik tentang pengawasan perilaku etik hakim.
Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki mengatakan, klausul pengawasan hakim konstitusi dan hakim agung sebelumnya tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY.
Namun, pada 2006 Mahkamah Agung memohonkan uji materi (judicial review) ke MK terkait pengawasan.
"MA ingin melepaskan diri dari pengawasan KY. Tapi MK memasukkan dirinya juga sebagai subjek yang ikut juga me-judicial review karena di situ juga menyangkut pengawasan terhadap hakim MK," kata Suparman dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu (28/1/2017).
Baca juga: Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di MK
Adapun putusan MK saat itu menyebutkan bahwa pengawasan terhadap hakim AMA tetap, sedangkan pengawasan terhadap MK mereka anulir. Adapun potongan putusan MK tersebut berbunyi:
"Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial."
Sedangkan pada poin berikutnya yang berkaitan dengan pengawasan terhadap MA berbunyi: "...jika undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945."
"Nah, hal semacam ini akhirnya berujung pada keadaan yang menimpa bangsa ini," kata Suparman.
Adapun keberadaan Dewan Etik saat ini masih dirasa tidak efektif. Menurutnya, lebih baik Dewan Etik berjalan namun dilebur dengan bagian kewenangan KY. Namun, jika aturan tersebut ingin kembali diberlakukan, ia menilai hal itu akan sulit sebab harus masuk melalui amandemen.
"Kalau ini mau dihidupkan lagi secara ketatanegaraan memang rumit karena harus masuk UUD. Karena putusan MK sejajar dengan konstitusi," kata dia.