JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, membantah keterangan yang menyebut bahwa ia pernah meminta uang sebesar Rp 3 miliar kepada Lippo Group. Sebelumnya, Nurhadi diduga meminta uang untuk menggelar turnamen tenis.
"Enggak ada, enggak ada, bohong itu," ujar Nurhadi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Nurhadi diminta untuk memberi keterangan dalam penyelidikan KPK terkait indikasi korupsi yang diduga melibatkan dirinya. Nurhadi berada di Gedung KPK selama hampir 9 jam.
Menurut Nurhadi, selama di hadapan penyelidik KPK, dia hanya dimintai keterangan seputar penangkapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Ia pun memberikan penjelasan terkait beberapa hal.
"Hanya klarifikasi saja," kata Nurhadi.
(Baca: Nurhadi Minta Rp 3 Miliar kepada Lippo Group untuk Gelar Turnamen Tenis)
Nurhadi diduga meminta uang sebesar Rp 3 miliar kepada Lippo Group, terkait pengurusan sejumlah perkara hukum yang dihadapi beberapa perusahaan di bawah salah satu konglomerasi besar tersebut. Diduga, uang tersebut akan digunakan untuk biaya menggelar turnamen tenis se-Indonesia.
Hal itu terungkap dalam surat dakwaan Jaksa penuntut KPK terhadap terdakwa Edy Nasution, yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Awalnya, Lippo Group melalui PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) menghadapi persoalan hukum terkait permohonan eksekusi tanah oleh ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang.
Adapun, tanah yang berlokasi di Tangerang tersebut adalah milik ahli waris Tan Hok Tjioe. Namun, saat ini tanah tersebut dikuasai oleh PT JBC, dan telah dijadikan lapangan golf Gading Raya Serpong.
(Baca: Artidjo Alkostar: Kasus Nurhadi Mencoreng Citra MA)
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan petunjuk bahwa permohonan eksekusi tanah tersebut diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara pelaksanaan dilakukan oleh PN Tangerang.
Mengetahui adanya permohonan eksekusi, Eddy Sindoro selaku Presiden Direktur Lippo Group dan Direktur PT JBC menugaskan bagian legal Lippo Group, Wresti Kristian Hesti, untuk melakukan pengurusan perkara.
Menindaklanjuti hal tersebut, Hesti kemudian menemui panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution untuk meminta pembatalan permohonan eksekusi tanah yang telah dikuasai PT JBC. Namun, setelah beberapa lama, Edy tidak juga melakukan tindak lanjut, sehingga Hesti meminta Eddy Sindoro untuk membuat memo kepada promotor, yakni Nurhadi.
Setelah itu, Edy menghubungi Hesti dan menyampaikan kesediaan untuk membantu mengurus perkara.