Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bebani Koruptor dengan Biaya Sosial

Kompas.com - 14/09/2016, 11:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.

Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.

Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.

Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa (13/9), menuturkan, KPK pernah mengkaji penerapan upaya ”luar biasa” untuk menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud.

Dia mencontohkan, kerugian akibat jembatan yang roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya semata nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi.

Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.

Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.

Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan. Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.

Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.

Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.

Sebagai contoh adalah pengusutan kasus korupsi dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.

Berdasarkan hasil putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2008-2010, total denda yang wajib dibayarkan oleh sembilan terpidana adalah Rp 1,7 miliar.

Namun, jika memakai kalkulasi biaya sosial korupsi, ”hukuman” finansial yang bisa dijatuhkan kepada sembilan terpidana itu mencapai Rp 923 miliar.

”Kami optimistis akan mencoba (biaya sosial korupsi) pada periode kami sekarang ini,” kata Laode yang masa jabatannya berlangsung hingga 2019.

Dalam kajian KPK, biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.

Pengganti kerusakan

Ahli ekonomika kriminalitas yang juga Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo merupakan pakar yang membantu KPK menghitung kerugian ekonomi korupsi dalam kajian biaya sosial korupsi.

Menurut Rimawan, sudah seyogianya biaya sosial korupsi dibebankan kepada terpidana sebagai pengganti kerusakan karena tindakannya.

Di beberapa negara maju, prinsip perhitungan biaya sosial tersebut sudah tecermin dalam putusan hakim.

Rimawan menuturkan, pembebanan biaya sosial korupsi bisa membuat orang yang rasional berpikir lebih jauh karena keuntungan dari korupsi akan jauh lebih rendah dibandingkan biaya sosial yang harus dibayarkan jika ia korupsi.

”Pertanyaannya sering kali kejam sekali hukuman (biaya sosial korupsi), tetapi apakah kita mau terus menyubsidi koruptor? Uang yang dikorupsi itu dari pajak,” katanya.

Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan siap menerapkan biaya sosial korupsi di kejaksaan apabila ada payung hukumnya.

Namun, ia mengusulkan penerapan hal itu disertai dengan aturan yang jelas dalam proses pembayaran atau cara eksekusinya.

Pasalnya, untuk uang pengganti saja, kejaksaan kerap kesulitan mengeksekusinya karena aset terpidana tidak cukup atau masih terlibat sengketa.

Piutang kejaksaan pun terus membengkak. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, piutang uang pengganti kejaksaan saat ini mencapai Rp 15,7 triliun.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur mengatakan, jika tujuan hukuman biaya sosial itu untuk memberikan efek jera kepada koruptor, MA pada dasarnya tidak keberatan hukuman itu diterapkan.

Ridwan menuturkan, MA bisa saja mengeluarkan Peraturan MA (Perma) untuk mengatur pidana baru tersebut dalam rangka pemberian efek jera untuk kasus korupsi karena Perma juga memiliki kekuatan mengikat di dalam sistem peradilan pidana.

”Syukur-syukur jika ketentuan soal hukuman biaya sosial itu diatur di dalam UU, daripada di dalam peraturan bersama di antara institusi penegak hukum, atau di dalam Perma. Sebab, UU sifatnya lebih kuat,” katanya.

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengusulkan, ”Jika memang berencana menggunakan konsep biaya sosial korupsi, sebaiknya dituangkan dalam revisi UU Tipikor.

Jadi, jika ingin melakukan perubahan terhadap UU itu, sebaiknya memang yang seperti ini sehingga pemberantasan korupsi berjalan optimal.”

Indriyanto juga berharap biaya sosial korupsi ini diimplementasikan sebagai social direct beneficiary (masyarakat sebagai penerima langsung manfaat) sehingga wujudnya dapat langsung dirasakan masyarakat. (GAL/IAN/REK/APA/AGE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com