JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komunitas Perkawinan Campur Indonesia (Perca), Juliani Luthan, meminta pemerintah untuk mengkaji kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Juliani menilai banyak pasal dalam UU Kewarganegaraan tersebut yang memberatkan anak-anak hasil perkawinan campuran antara wanita Indonesia dengan pria dari negara lain.
Kebijakan tersebut membuat banyak anak hasil perkawinan campuran kesulitan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
"Kami meminta pemerintah melihat anak-anak yang memiliki kewarganegaraan ganda, namun ingin memiliki status WNI," ujar Juliani usai acara Dialog Peringatan Dasawarsa Dwi-Kewarganegaraan Terbatas ke-10 di gedung Kemenkumham, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Menurut Juliani, banyaknya kasus anak hasil perkawinan campur yang tidak bisa mendaftarkan status WNI, disebabkan tidak sadarnya orangtua terhadap adanya pasal 41 dalam UU Kewarganegaraan, di mana mereka hanya dibatasi waktu empat tahun.
"Dalam beberapa kasus, anak-anak yang lahir sebelum UU berlaku pada Agustus 2006 ini tidak bisa mendapatkan haknya untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia," kata Juliani.
Juliani juga menjelaskan, banyak anak perkawinan campuran yang terbelit masalah pelepasan kewarganegaraan dari negara asal pihak ayah, terutama negara yang menerapkan pengakuan kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir.
"Anak-anak ini kesulitan karena di satu sisi sistem negara dari pihak ayah tidak memungkinkan adanya pelepasan kewarganegaraan, seperti Amerika dan Australia," ujar Juliani.
Selain itu, kata Juliani, proses naturalisasi yang termaktub dalam UU Kewarganegaraan mengharuskan WNA, termasuk anak-anak memiliki pekerjaan saat mendaftarkan diri dan membayar Rp 50 juta.
Hal ini menyulitkan orangtua anak untuk mengurus proses naturalisasi agar mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
"Ini tidak realistis. Kami berharap ada kebijakan yang lebih memudahkan sehingga pemenuhan hak sipil yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak terjadi di lapangan," kata dia.