Ia menilai, ada beberapa pasal dalam draf tersebut yang multiinterpretasi dan absurd.
"Banyaknya kalimat yang absurd dan tidak rigid dalam draf tersebut membuka ruang penafsiran yang terlalu luas, sehingga berpotensi ditafsirkan sepihak oleh kekuasaan dan rentan terhadap pelanggaran," ungkap Al Araaf dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Sabtu (5/3/2016).
Beberapa pasal yang memiliki potensi multi-interpretasi yakni, pasal 12A ayat (1), pasal 12B ayat (2) dan pasal 13A.
Pasal 12A ayat 1 berbunyi, "setiap orang yang mengadakan hubungan dengan setiap orang yang berkedudukan di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dengan maksud dan melawan hukum akan atau melakukan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun".
Kalimat “mengadakan hubungan”, menurut Al Araaf, bersifat multiinterpretatif sehingga perbuatan yang ingin dipidana dalam pasal tersebut tidak jelas.
Kalimat itu juga dapat mengancam siapa saja yang sebernarnya tidak terkait dengan tindak pidana terorisme tetapi “dihubung-hubungkan” dengan tindak pidana terorisme.
Seharusnya, yang dimaksud dengan “hubungan” dijelaskan dalam satu bentuk yang konkrit seperti mendukung pendanaan, perencanaan terorisme, dan lain sebagainya.
"Apakah yang dimaksud “hubungan” itu adalah hubungan pertemanan, hubungan kekeluargaan, atau bentuk-bentuk hubungan lainnya," kata Al Araaf.
Dalam pasal 12B ayat (1) juga memiliki kalimat yang multi interpretatif dengan tidak adanya defenisi yang jelas tentang apa yang dimaksud “pelatihan paramiliter” dan “pelatihan lain”. Ia mengatakan, rumusan mengenai pelatihan apa saja yang digolongkan sebagai tindak pidana terorisme harus jelas dan rinci.
Pasal berikutnya adalah pasal 13A yang mengatur tentang penebaran kebencian (hate speech). Pengaturan hate speech ini masih terlalu luas dan cenderung membatasi kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Kalimat “dapat mendorong” dalam pasal 13A ayat (1) bersifat subjektif dan berpotensi ditafsirkan secara ganda.
Al Araaf mengusulkan, agar lebih jelas dan rigid, aturan mengenai hate speech sebaiknya diatur dalam undang-undang tersendiri atau melalui revisi KUHP yang saat ini tengah dilakukan oleh DPR.
"Aturan mengenai hate speech dalam RUU ini dapat membuka peluang terjadinya kriminalisasi dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.