Revisi UU ini telah disepakati masuk prioritas Program Legislasi Nasional 2016. Usulan revisi tersebut menjadi inisiatif DPR.
Ia menampik bahwa DPR ngotot melakukan revisi UU KPK.
"Kami sebenarnya sudah agak diam. Yang ungkit0ungkit lagi masalah ini kan pemerintah. Jangan pemerintah seakan lempar bola lagi ke DPR," kata Fahri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Fahri mengatakan, Presiden Joko Widodo harus dapat meyakinkan semua pihak bahwa korupsi merupakan masalah besar yang harus ditangani bersama.
"Jangan sampai Jokowi seperti memegang bara panas. Kucing-kucingan, seolah-olah ada yang suka KPK ada yang benci KPK," kata dia.
Ada empat poin pembahasan di dalam revisi UU KPK, yaitu pembentukan dewan pengawas, penambahan wewenang penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pengaturan tentang penyadapan dan wewenang mengangkat penyidik sendiri.
Namun, rencana revisi UU tersebut menuai kontroversi. Sebab, poin-poin yang diusulkan untuk direvisi dinilai melemahkan KPK.
"Makanya saya minta agar dielaborasi. Kalau kita menganggap bahwa korupsi adalah suatu problem sistemik mendasar, merata, dan sudah akut, maka semua orang harus sepakat mengatasinya," kata Fahri.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, tidak ada naskah akademik yang menjadi rujukan pasal-pasal yang akan direvisi. Hal itu dianggap cacat prosedur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.