Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Rugi Rp 35 Triliun dalam Kasus Kondensat, Lebih Besar dari Kasus Century

Kompas.com - 25/01/2016, 11:25 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyelesaikan penghitungan kerugian negara terkait kasus dugaan korupsi penjualan kondensat yang melibatkan PT TPPI, BP Migas (kini berubah menjadi SKK Migas), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Jumat pekan kemarin kami terima. Perkara korupsi itu, jika merujuk pada PKN BPK, telah merugikan negara sebesar 2,7 miliar dollar AS atau jika dengan nilai tukar saat ini sebesar Rp 35 triliun," ujar Kepala Subdirektorat Money Laundry Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Golkar Pangerso saat dihubungi, Senin (25/1/2016) pagi.

BPK, sebut Golkar, menyebutkan bahwa nilai kerugian itu adalah yang terbesar yang pernah dihitung BPK dan disidik oleh polisi.

(Baca: Hasil Koordinasi BPK dan Bareskrim Ungkap Ada Pelaku Lain di Kasus Kondensat)

"Sebelumnya kan yang paling besar itu perkara Century," lanjut Golkar. Pada perkara Century, total kerugian negara mencapai Rp 7,4 triliun.

Dengan adanya catatan perhitungan kerugian negara ini, maka proses penyidikan kasus kondensat tuntas. Paling lambat, penyidik akan mengirim berkas perkara itu lengkap dengan dokumen perhitungan kerugian negara ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap persidangan.

Saat ditanya apakah pengusutan perkara itu akan berhenti, Golkar menampiknya. Menurut dia, berdasarkan penyidikan perkara itu, ada banyak pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, dia memastikan bahwa penyidikan perkara itu tak akan berhenti hingga di situ saja.

(Baca: Pengakuan Tersangka Kasus Kondensat Memberatkan Pelaku Lainnya)

Golkar juga memastikan bahwa penyidikan baru untuk mencari tersangka baru akan dilakukan oleh penyidiknya.

"Penyidikan baru kami lakukan, bisa sebelum berkas pertama dikirim ke kejaksaan atau setelahnya. Yang jelas, pengusutan ini tidak akan berhenti," ujar Golkar.

Kasus ini mulai disidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri pada Mei 2015. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh BP Migas untuk menjual kondensat.

(Baca: Kalla: TPPI Ingkar, Harus Bertanggung Jawab)

Penyidik juga menemukan, meskipun kontrak kerja sama BP Migas dengan PT TPPI ditandatangani pada Maret 2009, tetapi PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual. PT TPPI diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara.

Dalam kasus ini, penyidik menetapkan tiga orang tersangka, yakni eks Kepala BP Migas Raden Priyono, eks mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, serta mantan pemilik PT TPPI Honggo Wendratmo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Nasional
Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com