Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei ICW: Mayoritas Responden Nilai Tak Wajib Ada Pimpinan KPK dari Polisi-Jaksa

Kompas.com - 26/11/2015, 18:10 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan bahwa mayoritas responden menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak harus ada yang berlatar belakang kepolisian dan kejaksaan.

Dari 1.500 responden, sebanyak 79,4 persen orang menyatakan pimpinan KPK tidak harus ada yang berlatar belakang polisi.

"Hanya 19,9 persen responden yang menjawab calon pimpinan KPK harus ada yang berasal dari kepolisian," ujar Kepala Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/11/2015).

Sementara itu, sebanyak 73 persen responden menjawab calon pimpinan KPK tidak harus berlatar belakang jaksa.

Adapun jumlah responden yang menyatakan harus ada unsur kejaksaan, yakni 26,4 persen saja. (baca: Survei ICW: Mayoritas Responden Sebut DPR Harus Dibersihkan KPK Lebih Dulu)

ICW juga menanyakan apakah proses pemilihan pimpinan KPK harus melibatkan DPR. Hasilnya, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan tidak perlu. Adapun 41,7 persen responden menyatakan perlu.

Ketika ditanya latar belakang apa yang sebaiknya menjadi pimpinan KPK, mayoritas responden atau sebanyak 43,3 persen memilih profesi akademisi.

Adapun 38,7 persen responden lain memillih masyarakat sipil sebagai latar belakang pimpinan KPK yang baik.

Profesi lain berturut-turut adalah jaksa, polisi, pengacara, auditor dan mantan pejabat pemerintah.

Tajuk utama survei ini adalah "Pandangan Masyarakat Terhadap Keberadaan KPK dalam Pemberantasan Korupsi".

Survei ini dibuat dilatari oleh sejumlah hal. Pertama, proses seleksi calon pimpinan KPK sedang berlangsung di DPR RI. Kedua, masyarakat dianggap harus berpartisipasi dalam proses itu.

Ketiga, DPR harus melihat apa pandangan masyarakat tentang proses seleksi calon pimpinan KPK.

Survei digelar di lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar. Jumlah responden adalah 1.500 orang yang berasal dari latar belakang, mulai dari wiraswasta, ibu rumah tangga, mahasiswa/pelajar, guru, pegawai negeri sipil sampai polisi dan TNI.

Rapat Pleno Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (25/11) malam, memutuskan menunda proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK hingga pekan depan

Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin mengatakan, ada empat poin yang menjadi dasar fraksi-fraksi meminta penundaan.

Namun, Aziz hanya bersedia mengungkapkan satu poin, yakni tidak ada capim KPK yang berasal dari unsur kejaksaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com