Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kriminalisasi Diskresi

Kompas.com - 28/08/2015, 16:00 WIB

Oleh: Hamid Awaluddin

JAKARTA, KOMPAS - Hanya di negeri ini, gunungan-gunungan uang seperti terkena tulah: tak banyak yang mau menyentuh dan berdekat-dekat dengannya. Tepatnya, manusia enggan membelanjakannya.

Triliunan uang itu mengendap di bank-bank di Jakarta dan daerah-daerah. Namun, para pejabat, kepala daerah, dan jajarannya tak kunjung mengeluarkannya untuk membiayai pembangunan. Mereka seperti tidak tergerak membelanjakannya untuk kemaslahatan orang banyak. Untuk tahun ini, misalnya, pemerintah menganggarkan dana Rp 290,3 triliun khusus hanya untuk infrastruktur, terbesar sepanjang sejarah republik (Kompas, 25/5).

Bayangkanlah uang negara ini: APBN Perubahan 2015 ditetapkan Rp 1.319,5 triliun, sekitar 60 persen atau Rp 795,5 triliun disebar ke seluruh kementerian dan lembaga untuk dibelanjakan. Selebihnya ditransfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus), dana otonomi khusus, dana desa, dana keistimewaan DI Yogyakarta, dan dana transfer lainnya. Seluruh uang itu diniatkan untuk mengongkosi perjalanan pembangunan negeri ini sepanjang 2015. Namun, yang terjadi, sampai Agustus 2015 ini baru sekitar 20 persen gunungan uang tersebut terpakai. Artinya, belanja pemerintah sangat seret, mengakibatkan kemandekan ekonomi hingga kini.

Melekat pada pejabat

Pangkal soal dari ini adalah rasa takut dari para menteri, dirjen, bupati/wali kota, gubernur, dari seluruh pejabat pemerintah. Tak ada yang ingin mengambil kebijakan dan keputusan lantaran takut berurusan dengan aparat hukum kelak di kemudian hari. Sebuah alasan yang amat manusiawi sebab sejak reformasi hingga kini, sudah delapan menteri, dua gubernur Bank Indonesia, 18 gubernur, seorang jenderal bintang empat, seorang polisi bintang empat dan tiga orang berbintang tiga, sekitar 40 anggota DPR, dan sekitar 200 bupati/wali kota masuk bui.

Para pejabat negara tersebut pada umumnya dihukum dengan pasal gratifikasi dan Pasal 2 tentang perbuatan melawan hukum, serta Pasal 3 tentang penyalahgunaan kewenangan, UU Pemberantasan Korupsi. Kedua pasal ini memang sangat mengerikan karena di sana dikatakan bahwa seseorang yang berbuat yang dapat merugikan negara itu sudah dipidana. Kata ”dapat” adalah sesuatu yang belum terjadi, tetapi aparat hukum secara ketat menggunakannya dengan dalih berpotensi merugikan negara. Kedua pasal tersebut sebenarnya terlampau longgar.

Sejatinya, pejabat tidak perlu dicengkeram rasa takut mengambil kebijakan sebab setiap pejabat secara otomatis disertai kewenangan. Artinya, pejabat negara otomatis memiliki hak dan kewenangan untuk mengambil diskresi, yang dalam sistem hukum Jerman disebut freies ermessen. Sementara dalam sistem hukum Inggris disebut discretionary power, yang juga dipakai dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Diskresi itu melekat pada diri pejabat, bukan pada jabatan. Karena itu, yang berhak mengambil diskresi hanyalah pejabat yang berwenang. Dalam UU No 3/2015, Pasal 6 jelas menegaskan bahwa pejabat pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya, dan memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya.

Demi kepentingan umum

Dari sini muncul pertanyaan, mengapa diskresi itu diperlukan? Pasal 22 UU No 30/2014 dengan tegas mengatakan, tujuan penggunaan diskresi adalah: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Dengan dasar hukum yang amat kuat ini, pejabat tidak perlu ragu mengambil diskresi, apalagi dengan kondisi riil bangsa kita sekarang ini, di mana masalah ekonomi mengalami persoalan besar. Pejabat tidak perlu ragu mengambil diskresi karena mereka diberi perlindungan hukum, demi kemanfaatan dan kepentingan umum.

Pertanyaannya, di mana batas diskresi tersebut bisa kebal dari kriminalisasi? Selama diskresi tersebut dilakukan dengan tujuan kepentingan umum, tidak ada kepentingan pribadi untuk memperkaya diri atau pihak lain secara melawan hukum, diskresi pejabat harus dilindungi dari ikhtiar kriminalisasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com