Lalu, dalam tataran praksis, pemerintah harus mengambil politik hukum yang berisi bahwa pejabat yang mengambil diskresi demi kepentingan umum, sebelum dinyatakan tersangka, BPK dan BPKP harus terlebih dahulu melakukan audit yang akurat. Aparat penegak hukum seyogianya mendasari penyidikannya pada hasil audit BPK dan BPKP sebab kedua lembaga tersebut ditugasi oleh negara, secara profesional melakukan audit.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang, aparat penegak hukum sering kali mengingkari hasil audit BPK dan BPKP dan menggunakan hasil dan cara hitungannya sendiri. Inilah yang menjadi biang mengapa pejabat negara takut mengambil diskresi.
Langkah berikut, penegak hukum sebaiknya juga menggunakan instrumen UU No 30/2015 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai dasar untuk memeriksa dan menersangkakan para pejabat negara yang mengambil tindakan diskresi demi kemanfaatan dan kepentingan umum. Dalam menentukan status seorang pejabat yang mengambil tindakan diskresi, aparat penegak hukum harus menggunakan dua instrumen hukum secara bersamaan dan berimbang.
Beberapa waktu lalu, seorang bupati dibawa ke pengadilan dengan sangkaan penyalahgunaan kewenangan. Sang bupati mengambil diskresi menyiapkan lahan untuk sebuah megaproyek dengan nilai puluhan triliun. Diskresinya dinilai berpotensi merugikan negara sebesar tiga miliar rupiah. Aparat negara luput melihat bahwa dengan diskresi tersebut, rakyat yang dipimpinnya dan negara memperoleh keuntungan triliunan, sementara sangkaan aparat penegak hukum tentang kerugian negara barulah bersifat asumsi. Untung sang bupati dibebaskan oleh pengadilan.
Hamid Awaluddin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Kriminalisasi Diskresi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.