Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LHKPN dan Penyelenggara Negara

Kompas.com - 08/06/2015, 15:19 WIB


Oleh: W Riawan Tjandra

JAKARTA, KOMPAS - Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Pasal 2 PP No 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara merupakan kewajiban yang tak boleh dielakkan oleh setiap orang yang menduduki jabatan penyelenggara negara.

Sebagai suatu kewajiban jabatan, pelanggaran terhadap norma hukum itu dapat dikenai sanksi jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari sanksi etik bahkan sanksi pidana.

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tersebar berbagai kewajiban yang mutlak harus ditaati setiap aparatur sipil negara, mulai dari norma etik (ethical norm) sampai dengan norma hukum (legal norm) bagi setiap aparatur sipil negara terutama melekat kewajiban untuk memberikan kepeloporan bagi aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi.

Demikian pula dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur dengan tegas bahwa setiap pejabat pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan tak boleh melanggar peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum tertulis (written law) maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai norma hukum tak tertulis (unwritten law).

Mekanisme pelaporan

Sebagaimana diberitakan oleh banyak media massa termasuk Kompas, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso menyarankan agar mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) diubah. Bukan lagi penyelenggara negara yang melaporkan, melainkan institusi penegak hukum yang menelusurinya (Kompas, 29/5/2015).

Bahkan, diberitakan pula di banyak media massa bahwa yang bersangkutan hingga kini juga tak kunjung menyerahkan LHKPN kepada KPK sebagaimana diperintahkan perundang-undangan bagi setiap penyelenggara negara tanpa kecuali.

Lahirnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merupakan amanat reformasi 1998 yang kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Fondasi norma hukum yang mengatur kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK sebelum dan setelah menjabat diletakkan di atas beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan penyelenggara negara.

Pertama, secara konstitusional, kewajiban untuk menyerahkan LHKPN bagi setiap penyelenggara negara merupakan norma hukum yang oleh konstitusi yang bermaksud membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa, checks and balances dan demokrasi, dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important).

 

Kedua, Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 yang dijadikan rujukan dalam pembentukan UU Nomor 28 Tahun 1999 selama ini merupakan intermediate factor bagi keefektifan penegakan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Maka, kewajiban menyerahkan LKHPN menjadi kunci untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perilaku jabatan dari setiap penyelenggara negara.

Penolakan menyerahkan LKHPN mestinya bisa menjadi indikasi bagi penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan efektif, apalagi dalam UU Tipikor dianut asas pergeseran beban pembuktian (shifting burden of proof) yang mewajibkan bagi tersangka tipikor untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tipikor dalam persidangan (Pasal 37, 37A, 38 A-C UU Tipikor). Secara a contrario, dapat dikatakan bahwa justru melalui LHKPN yang diserahkan di awal dan akhir jabatan penyelenggara negara dapat menjadi pembuktian mengenai perilaku bersih bagi setiap penyelenggara negara baik sebelum, selama, maupun setelah menjabat sebagai penyelenggara negara agar tak perlu diterapkan UU Tipikor.

Buktikan bersih

Dengan kata lain, benarlah slogan yang menyatakan "Jika bersih, mengapa harus risi??" Ketiga, menolak mematuhi norma hukum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 yang merupakan mandat dari Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 sama halnya dengan mencabut ruh reformasi 1998. Hal itu jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang menyebabkan kian lemahnya upaya membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Keempat, penolakan oleh siapa pun penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selain secara hukum tetap dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan, sanksi etik, maupun sanksi pidana, juga dapat meruntuhkan kewibawaan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berupaya membangun citra publik melalui revolusi mental sebagai fondasi dari Nawacita.

W Riawan Tjandra
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juni 2015 dengan judul "LHKPN dan Penyelenggara Negara".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com