Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mewujudkan Negara Hukum Indonesia...

Kompas.com - 02/05/2015, 14:51 WIB

KOMPAS - Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum tak sebatas buah bibir. Namun, juga tertuang dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Jadi, idealnya, hukum menjadi panglima dalam bernegara.

Akan tetapi, survei Litbang Kompas justru menunjukkan penurunan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum. Dalam survei terhadap 1.200 responden pada 7-15 April 2015, hanya 43,2 persen responden yang puas atas kinerja pemerintah di bidang hukum.

Persentase itu menurun jika dibandingkan dengan kepuasan responden pada Januari 2015 yang 59,7 persen. Perlu diketahui, responden Januari sama dengan responden April.

Kinerja penegakan hukum dinilai melorot karena ada problem besar yang belum tuntas. Misalnya, harmonisasi relasi Kepolisian RI-Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung.

Hubungan antarlembaga harus segera diharmoniskan jika Indonesia sungguh ingin menjadi negara berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan.

Persoalannya, hukum di negeri ini tidak otomatis dipandang baik jika kita sekadar memperbaiki hubungan antarlembaga, menggenjot pemberantasan korupsi, dan menunda pelaksanaan hukuman mati.

Bagi rakyat, terutama rakyat kecil, yang terpenting adalah rasa nyaman setiap bersinggungan dengan aparat hukum. Hukum akan bernilai positif kala rakyat dipermudah dalam perpanjangan SIM, STNK, atau dibantu ketika melaporkan ketidakberesan.

Sayangnya, saat kita berhadapan dengan pembalak hutan, perampas isi perut bumi, dan pencuri ikan, justru Themis, Sang Dewi Keadilan, seolah-olah memburu rakyat kecil. Pedang di tangan kanan Dewi Keadilan justru condong "menebas" rakyat miskin papa.

Dulu, pada 2009, kita menyaksikan peradilan terhadap Nenek Minah, pencuri tiga kakao di Banyumas, sementara kini disuguhi peradilan terhadap Nenek Asyani.

Untung saja, meski Majelis Hakim PN Purwokerto memvonis Minah dengan hukuman 1 bulan dan 15 hari penjara, terpidana renta itu tak perlu menjalani hukuman. Di sisi lain, Asyani justru divonis penjara satu tahun dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan dengan percobaan 15 bulan.

Tentu putusan bagi Asyani harus dihormati. Namun, hiruk pikuk opini di masyarakat menunjukkan ada yang tak pas dengan vonis itu. Terlebih, pencari keadilan masih mempersoalkan tiadanya uji forensik bagi kayu jati sumber masalah.

Publik pun mempertanyakan apakah kita harus menghakimi yang renta seperti Asyani? Apabila niatnya memberikan efek jera, tidakkah ada perkara lain? Belum lagi kita bicara soal tepat atau tidaknya pemidanaan.

Pakar filsafat hukum Bernard Arief Sidharta, dalam buku Ilmu Hukum Indonesia (2010), menekankan, dalam penyelesaian problem hukum, pertanyaan pokoknya adalah hukuman apa yang paling tepat atau dapat diterima terhadap situasi konkret individu tertentu, dalam suatu perkara pidana.

Di masa mendatang, para hakim idealnya mempertimbangkan penerimaan masyarakat terhadap vonis. Pertimbangkan pula alternatif pemidanaan untuk memenangi hati publik.

Peradilan di negeri ini sebenarnya digolongkan dalam cabang kekuasaan yudikatif, terpisah dari eksekutif. Namun, memang tidak ada batas pasti di antara dua cabang kekuasaan itu. Akibatnya, jangan heran jika ketidakberesan yudikatif dinilai sebagai kegagalan eksekutif.

Ini repotnya. Walau eksekutif haram mengintervensi proses hukum, ada baiknya kepala negara hadir dalam perkara menyangkut nasib rakyat kecil. Bukan dalam kategori intervensi, tetapi demi stabilitas bernegara. (HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com