Sehari kemudian, kalimat itu menjadi kenyataan lagi, dan kali ini menimpa Akil sendiri. Rabu (2/10/2013) malam, Akil ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, di rumah dinasnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Malam itu, karier panjang Akil di dunia politik dan hukum selesai sudah.
Sekelumit cerita tersebut terungkap dalam buku "Akal Akal Akil" karya wartawan senior KOMPAS, Budiman Tanuredjo, yang diluncurkan pada Selasa (25/11/2014). Mengangkat antara lain tulisan Susana Rita--wartawan KOMPAS yang bertugas meliput di MK--Budiman bercerita panjang tentang saat-saat menjelang penangkapan Akil terkait penanganan sengketa pilkada.
Sepanjang Rabu, beberapa jam sebelum ditangkap, Akil masih memimpin sidang di MK dari pagi hingga malam. Sesudah rangkaian maraton sidang itu, Akil menurut Susana masih sempat singgah di media center MK. Lebih dari satu jam, Akil bercengkerama dengan para wartawan di sana.
Keraguan Akil
Menurut Susana, Akil sempat terlihat ragu saat hendak meninggalkan ruangan tempat wartawan bekerja seusai meliput persidangan di MK itu. Susana menggambarkan Akil sempat berjalan menuju pintu keluar media center, tetapi kemudian menghampiri seorang wartawan dan kembali ke tengan ruangan lalu bergurau kembali.
Akil sempat pamit sekali lagi. Namun, di dekat pintu lagi-lagi dia mendekati seorang wartawan yang ada di sana. Beberapa kali hal ini berulang. Sampai seorang wartawan pun sempat menyeletuk, ketika untuk kesekian kali Akil berpamitan, "Pasti enggak jadi pulang lagi," tutur Susana.
Dalam tulisan yang dikutip Budiman itu, Susana menggambarkan kesan keenggaan Akil untuk pulang itu dengan menyertakan pula kalimat "janggal" yang sempat diucapkan Akil tanpa pertanyaan pemicu dari wartawan.
"Saya hanya bekerja untuk kepentingan negeri, tak memiliki kepentingan pribadi. Kalau begitu, ngapain saya takut," ujar Akil pada malam itu, sebelum akhirnya benar-benar beranjak meninggalkan ruang tersebut.
Akhir cerita Akil
Hanya berhitung jam, kabar penangkapan Akil pun memenuhi pemberitaan. Rentetan peristiwa yang berbuntut penangkapan Akil pada Rabu malam itu diungkap pada persidangan Rabu (8/1/2014).
Jaksa penuntut umum dari KPK, Pulung Rinandoro, membacakan dakwaan untuk Chairun Nisa, saat itu anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Nisa turut ditangkap di rumah Akil pada Rabu malam sekitar tiga bulan sebelum persidangannya itu.
Nisa didakwa menjadi perantara dalam kasus suap sengketa Pilkada Gunung Mas yang melibatkan Bupati Gunung Mas, Hambid Bintih. Hambid menang dalam Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tetapi kemenangannya digugata ke MK oleh kompetirornya di pilkada.
Pada Rabu tiga bulan sebelumnya itu, Nisa datang ke rumah dinas Akil pada sekitar pukul 22.00 WIB. Bersamanya ada kerabat Hambid bernama Cornelis. Mereka datang tak bertangan kosong. Ada uang 284.040 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS untuk Akil mereka bawa.
"Boleh jadi eksekusi "perdagangan perkara" yang akan dilakukan Rabu malam, 2 Oktober 2013, itulah yang membuat Akil galau. Dia tampak ragu-ragu meninggalkan gedung MK," tulis Budiman dalam bukunya.
Menurut Budiman, kasus korupsi Akil Mochtar merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia. Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk penjara gara-gara terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang sampai ratusan miliar rupiah, tertangkap tangan pula.
Saat ini kasus Akil belum mendapatkan putusan hukum berkekuatan tetap. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, 30 Juni 2014, Akil dijatuhi vonis penjara seumur hidup. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun menolak bandingnya pada 24 November 2014. Meski demikian, seloroh Akil saat memeriksa Saropah kembali terngiang, kali ini berbunyi "Akil selesai".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.