JAKARTA, KOMPAS.com — Usulan pemerintah agar pemilu kepala daerah (pilkada) kembali ke DPRD dinilai ide yang buruk. Semestinya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memperbaiki mekanisme pilkada untuk mengatasi berbagai masalahnya.
"Ide buruk pilkada dikembalikan ke DPRD, seolah-olah kita menyerah," kata Wali Kota Bogor terpilih Bima Arya Sugiarto saat memaparkan hasil telepolling Charta Politika Indonesia di Jakarta, Kamis (5/12/2013).
Hasil telepolling menunjukkan, sebanyak 74 persen responden menginginkan pilkada tetap dilaksanakan secara langsung.
Hanya 17 persen responden yang menginginkan pilkada melalui DPRD. Sebanyak 4,5 persen tidak mempermasalahkan apakah dipilih secara langsung atau melalui DPRD dan 3,5 persen tidak menjawab.
Bima menolak jika pilkada langsung disebut selalu berbiaya tinggi sehingga berimbas pada korupsi. Berdasarkan pengalamannya maju dalam Pilkada Kota Bogor, dapat disimpulkan bahwa biaya politik tergantung pada kandidat.
Ia mengakui, ketika berniat maju, ia disarankan memiliki modal minimal Rp 10 miliar. Angka amannya mencapai Rp 20 miliar. "Ternyata dana kampanye saya jauh di bawah itu," ucap politisi PAN itu.
Agar bisa maju dalam pilkada, Bima memerlukan tambahan lima kursi di DPRD lantaran PAN di DPRD hanya memiliki dua kursi. Informasi yang dia terima, harga dukungan satu kursi mencapai Rp 150 juta.
Agar bisa maju tanpa transaksi uang dengan parpol, Bima sadar mesti memiliki elektabilitas tinggi. Ia memulai kampanye 2,5 tahun yang lalu dengan terus mendatangi warga. Ia terus menawarkan berbagai program dan mengajarkan untuk menolak politik uang.
Singkat cerita, kampanye bersama tim suksesnya berhasil. Mendekati pendaftaran ke KPU, berdasarkan hasil survei, elektabilitasnya teratas. Melihat fakta itu, kata dia, empat parpol lain memintanya untuk diusung bersama Usmar Hariman.
"Orang yang tidak punya strategi, tidak cerdas kampanye sudah pasti jebol (dana). Ada tren yang tidak boleh diabaikan, yakni kebangkitan kelas menangah yang melek politik. Itu yang menjadi penentu utama kualitas demokrasi. Mereka tidak bisa 'diguyur' dengan amplop (uang), tidak bisa 'dibeli' dengan sembako. Kalau pilkada di dewan disebut lebih murah, enggak juga. 'Pasar' akan berpindah ke dewan," kata mantan pengamat politik itu.
Bima menambahkan, mereka yang berpendapat Indonesia belum siap dengan pilkada langsung sama saja tidak mau Indonesia menjadi negara maju. Pilkada diserahkan ke DPRD sama saja kembali ke masa lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.