Ia menjelaskan, posisi figur dalam setiap partai sangat bisa diperdebatkan. Dan ia yakin tak semua figur dapat mendongkrak elektabilitas partai serta tak semua partai dapat mendongkrak elektabilitas figur-figur yang dimilikinya.
"Figur kan debatable, siapa yang mengatakan seseorang itu figur atau bukan," kata Hidayat di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Ketua Fraksi PKS ini menegaskan, dalam menghadapi pemilihan umum di 2014, pihaknya akan mempertahankan strategi yang digunakan pada tahun 2004, yaitu mengoptimalkan kerja kolektif dari seluruh kader PKS. Kondisi PKS pada 2004, kata Hidayat, tak jauh berbeda dengan kondisi PKS saat ini.
Pada 2004 PKS tak memiliki figur yang populer, tapi dengan kerja kader yang optimal, perolehan suara PKS mampu meningkat 650 persen, dari 1,3 juta suara, menjadi 8,3 juta suara, berbanding lurus dengan jumlah kursi di parlemen yang bertambah dua kali lipat.
"Dalam realita politik, figur bukan segala-galanya. Kerja efektif dan citra positif dari kader. Kita konsisten menggunakan kerja kader agar dapat memperjuangkan penuh kepentingan partai," ujarnya.
Untuk diketahui, keberadaan sosok sejauh ini masih menjadi kekuatan terbesar dalam peningkatan ataupun penurunan popularitas partai politik. Kuat atau lemahnya peran sosok tersebut mengubah konfigurasi penguasaan parpol saat ini.
Indikasi semacam itu tampak dari perbandingan dua hasil survei opini publik Kompas, yang menghimpun 1.400 responden calon pemilih dalam Pemilu 2014 di 33 provinsi. Hasil kedua survei tersebut menunjukkan ada perubahan konfigurasi penguasaan calon pemilih oleh parpol.
Perubahan konfigurasi popularitas parpol itu sangat terkait erat dengan keberadaan dan kiprah sosok-sosok yang ada dalam parpol. Dalam hal ini, parpol yang memiliki sosok populer dan positif dipandang publik akan menuai dukungan.
Sebaliknya, jika tidak memiliki sosok yang diandalkan atau memiliki sosok yang kurang berkenan di mata publik, parpol cenderung tidak bergerak atau justru makin resistan. Peningkatan popularitas parpol yang sangat signifikan terjadi pada PDI-P. Saat ini, popularitas PDI-P melesat, mendudukkannya di posisi puncak, diminati 23,6 persen responden.
Dengan proporsi yang diraihnya itu, Gerindra masuk parpol papan atas perolehan dukungan sekaligus mengancam posisi parpol papan atas yang lain, seperti Partai Demokrat. Keberadaan sosok Joko Widodo dan Prabowo Subianto terkait erat dengan peningkatan popularitas kedua partai tersebut.
Joko Widodo—yang dalam hasil survei ini juga tercatat sebagai tokoh paling populer, meraup dukungan hingga 32,5 persen responden—berhasil mentransformasikan sosok dirinya yang positif di mata masyarakat sebagai ikon yang positif pula bagi PDI-P. Begitu pun Prabowo Subianto, di mata masyarakat yang identik dengan Gerindra. Tingginya popularitas Prabowo dengan sendirinya melambungkan popularitas Gerindra.
Hasil survei menunjukkan, pesona kedua sosok tersebut juga mampu memengaruhi calon pemilih yang belum menentukan partai pilihan. Terbukti, dari perbandingan kedua hasil survei ini. Pada survei Juni, masih tercatat 36,3 persen responden yang belum menentukan parpol yang menjadi pilihan mereka. Namun, pada survei enam bulan kemudian, jumlah kelompok ini menurun, tinggal 13,4 persen. Perubahan pola penyikapan politik responden ini didasarkan pada keyakinan mereka terhadap nilai positif yang dimiliki kedua sosok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.