Dalam khazanah keilmuan sosial, Max Weber menjelaskan pelbagai macam dominasi yang muncul dari kekuasaan, yaitu dominasi karismatik, tradisional, dan legal rasional.
Rumus politik yang muncul belakangan ini adalah antitesis dari teori Weber dengan memunculkan dominasi baru: dominasi modal.
Kekuasaan hanya bisa dipegang dan diperoleh oleh mereka yang memiliki sumber daya dan dana politik terbesar, bukan oleh orang yang punya gagasan-gagasan besar.
Calon kepala daerah yang jujur, punya visi, misi, gagasan, dan dedikasi mungkin tidak laku di pasar politik. Politik gagasan terus-terusan dihantam badai pragmatisme jangka pendek.
Calon-calon yang hanya memunculkan gagasan akan tersingkir oleh orang yang punya “modal sosial” lebih besar dalam bentuk uang. Ironis, bukan?
Seharusnya demokrasi memberi kesempatan yang sama kepada semua orang, tetapi kenyataannya, setiap proses elektoral selalu menciptakan oligarki dan menambah panjang siklus koruptif.
Robert Klitgaard salah seorang akademisi Amerika memperkenalkan model sederhana untuk memahami korupsi yang dikenal dengan rumus Klitgaard, yaitu: Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas.
Dalam perspektif Klitgaard, korupsi tumbuh subur dalam kondisi di mana ada monopoli kekuasaan, kebebasan untuk membuat keputusan tanpa pengawasan, dan kurangnya akuntabilitas.
Dalam konteks politik uang di Pilkada Indonesia, para calon kepala daerah yang memiliki sumber daya finansial besar dapat menciptakan monopoli kekuasaan melalui politik uang, mengurangi persaingan yang sehat dan adil.
Setelah terpilih, para politisi ini memiliki diskresi luas dalam menggunakan anggaran dan membuat keputusan tanpa banyak pengawasan.
Lemahnya penegakan hukum dan institusi pengawasan yang tidak efektif menyebabkan tindakan koruptif menghegemoni setiap kebijakan dan pada akhirnya terbentuknya lingkungan koruptif di daerah.
Hal tersebut ditambah lagi dengan keadaan masyarakat yang terus terlilit beban-beban ekonomi dan sosial sehari-hari.
Masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi sulit menjadi rentan terhadap politik uang. Mereka bergantung pada uang tunai dan bantuan langsung dari politisi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini dimanfaatkan secara eksploitatif oleh politisi untuk mengamankan dukungan politik dengan memberi uang atau bantuan kepada pemilih.
Terciptalah hubungan patronase ataupun klientalisme yang memperkuat ketergantungan masyarakat pada politisi (baca: uangnya politisi).