"Saya sendiri sampai bertanya pada, tadi ada Pak Utut (Utut Adianto) mana ya. Saya tanya pada beliau, ini apaan sih, Mbak Puan lagi pergi yang saya bilang ke Meksiko. Kok enak amat ya (revisi),” ujarnya.
Menurut dia, MK kini diutak-atik demi kepentingan tertentu.
Namun, Megawati juga menyentil MK yang disebutnya sudah berubah dan bisa diintervensi oleh kekuasaan.
Baca juga: Megawati: KPK Barang Bagus Jadi Tidak Bagus, MK Juga Sama
Dia lantas menyinggung soal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/202 tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Adapun putusan itu melanggengkan putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka maju pemilihan presiden (Pilpres) 2024 meski baru berusia 36 tahun.
“Makanya haduh nih Mahkamah Konstitusi juga sama. Kenapa? Bisa diintervensi oleh kekuasaan. Nampak jelas melalui keputusan perkara nomor 90 yang menimbulkan begiitu banyak antipati,” kata Megawati.
“Ambisi kekuasaan sukses mematikan etika moral dan hati nurani hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat,” ujarnya melanjutkan.
Baca juga: Megawati Cerita Pendirian MK, Ingatkan soal Kewenangan dan Harus Berwibawa
Presiden ke-5 RI ini juga mengkritik revisi UU Penyiaran yang menurutnya bakal memberangus kerja-kerja pers.
Megawati bahkan bertanya apa guna pers apabila ada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dinilai mengurangi kebebasan pers.
"Makanya saya selalu mengatakan, 'hey, kamu tuh ada Dewan Pers lho, lalu harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik. Lah kok enggak boleh ya investigasinya. Lho, itu kan artinya pers itu kan apa sih. Menurut saya, dia benar-benar turun ke bawah lho, saya banyak teman (pers) dulu kan waktu PDI," kata Megawati.
Dalam pidato politiknya, Megawati juga sempat menyindir soal perebutan jatah menteri yang didengarnya terjadi setelah Pilpres 2024.
"Jabatan menteri pun, yang Ibu dengar nih, wah, sudah pada rebutan deh," kata Megawati.
Di hadapan ribuan kader dan simpatisan partainya, Megawati lalu mengilas balik keinginannya membentuk kabinet yang ramping ketika menghadapi krisis multidimensional sewaktu dirinya di tampuk kekuasaan.
Sebagai informasi, Megawati merupakan Wakil Presiden RI pada 1999-2001 dan menjadi presiden setelahnya hingga 2004 menggantikan Abdurrahman Wahid yang dilengserkan MPR.
"Ketika menghadapi krisis multidimensi saya lebih memilih membentuk kabinet yang ramping, dengan jumlah menteri 33 tapi bersifat apa, zaken kabinet, kabinet yang profesional," ujar Megawati.
"Jadi benar, the right man in the right place. Terbukti krisis dapat diatasi dan seluruh hutang terutama dengan International Monetary Fund (IMF) dapat dilunasi," katanya lagi.
Baca juga: Megawati Sindir Partai Rebutan Jatah Menteri, Ingatkan Kabinet Ramping
Dalam kesempatan itu, Megawati juga sempat bicara soal sistem ketatanegaraan Indonesia yang disebutnya tidak mengenal istilah koalisi dan opisisi karena menganut sistem presidensial.
"Karena saudara-saudara sekalian, anak-anakku tersayang, harus distressing bahwa banyak sekali mereka yang salah karena dalam sistem ketatanegaraan kita, boleh tanya pada Pak Mahfud. Sistem kita adalah presidential system jadi bukan parlementer. Jadi sebetulnya kita ini tidak ada koalisi lalu oposisi,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Megawati, kerja sama politik dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, dan Perindo di Pilpres 2024 tidak bisa disebut sebagai koalisi.
Kemudian, Megawati mengatakan bahwa apabila tidak berkoalisi maka disebut tidak bekerja sama. Sebab, Indonesia menganut sistem presidensial.
“Lalu, kalau ada yang bertanya kepada saya, kalau tidak ikut? Tidak ini, ya itu artinya tidak ada bersama-sama. Jadi semua pada diam. nah itu yang saya ingin stressing,” katanya.
Baca juga: Megawati: Tidak Ada Koalisi dan Oposisi, Sistem Kita Presidensial
Namun, Megawati tidak tegas menyatakan soal sikap PDI-P terhadap pemerintahan mendatang yang bakal dipegang oleh Prabowo Subianto-Rakabuming Raka.