Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar: Ada 1 Opsi Ubah UU Kementerian Negara, Ajukan Uji Materi ke MK tapi...

Kompas.com - 13/05/2024, 15:48 WIB
Novianti Setuningsih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, ada satu opsi untuk mengubah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara selain melalui proses di DPR RI.

Menurut Bivitri, UU Kementerian Negara bisa diubah melalui pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi, hasilnya tidak bisa dipastikan karena tergantung dari penafsiran hakim konstitusi.

Bivitri juga menyebut, cara tersebut bakal memakan waktu karena MK masih sibuk mengurus sengketa hasil pemilihan legislatif (Pileg) 2024.

“Karena selama PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) Pileg berlangsung, semua perkara PUU (Pengujian Undang-Undang) dihentikan dulu. Jadi baru bisa dimulai lagi nanti sekitar akhir Juni (2024),” kata Bivitri kepada Kompas.com, Senin (13/5/2024).

“Tapi, ya lagi-lagi apa yang tidak mungkin? Ingat saja putusan 90 (syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden) yang juga diam-diam masuk dan tiba-tiba diputuskan,” ujarnya melanjutkan.

Baca juga: Pakar: Jika Revisi UU Kementerian Negara atau Perppu Dilakukan Sekarang, Tunjukkan Prabowo-Gibran Semacam Periode Ke-3 Jokowi

Sebelumnya, Bivitri mengatakan, revisi UU Kementerian Negara tidak mungkin dilakukan pada pemerintahan saat ini karena tidak ada dalam prioritas legislasi tahun 2024.

Meskipun, UU Kementerian Negara masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2019. Tetapi, tidak tertulis akan dilakukan pada 2024.

“Secara teori, tidak boleh presiden membuat kebijakan sepenting ini pada masa lame duck (masa transisi) seperti ini,” kata Bivitri.

Dia juga menilai, tidak ada kepentingan negara untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah jumlah kementerian.

“Semata-mata ini kepentingan untuk membagi kekuasaan,” katanya.

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, apabila revisi UU Kementerian Negara dilakukan atau Perppu diterbitkan pada periode akhir pemerintahan Jokowi, maka menunjukkan pemerintahan ke depan adalah periode ke-3 Jokowi.

“Kalau perubahan/Perppu (UU Kementerian Negara) dilakukan sekarang juga, benar-benar menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran adalah semacam periode ke-3 Jokowi,” kata Bivitri.

Baca juga: Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Butuh revisi UU Kementerian Negara

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengatakan, revisi UU Kementerian Negara diperlukan apabila pemerintahan Prabowo-Gibran akan melakukan penambahan nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40.

"Penambahan kementerian untuk mengubah nomenklatur kementerian harus merevisi UU 39/2008," kata Junimart dikutip dari Antaranews pada 10 Mei 2024.

Sebab, menurut dia, pada Pasal 12,13, dan 14 UU Kementerian Negara telah mengatur tentang pembatasan jumlah bidang kementerian, yakni sebanyak 34.

"Disebutkan paling banyak 34 kementerian, dengan rincian 4 menko (menteri koordinator), dan 30 menteri bidang,” ujarnya.

Namun, Junimart mengingatkan agar gagasan penambahan kementerian tidak sekadar untuk mengakomodasi kepentingan politik atau bagi-bagi kekuasaan.

Baca juga: Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Revisi bisa dilakukan sebelum pelantikan Prabowo-Gibran

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, kubu presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membuka opsi untuk merevisi UU Kementerian Negara.

“Ya, revisi itu dimungkinkan,” ujar Muzani usai acara halal bihalal paguyuban warteg se-Indonesia di Gedung Nusantara IV DPR/MPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/6/2024).

Muzani bahkan menyebutkan, revisi UU Kementerian Negara bisa dilakukan sebelum pelantikan Prabowo-Gibran menjadi presiden-wakil presiden 2024-2029.

“Ya revisi itu bisa sebelum dilakukan (pelantikan),” kata Muzani.

Baca juga: Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sebagai informasi, belakangan muncul usulan atau gagasan penambahan jumlah kementerian pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, Indonesia memang memerlukan banyak kementerian karena merupakan sebuah negara yang besar.

Dia pun mengaku bahwa ada kebutuhan akan peran banyak pihak agar program pemerintahan ke depan berjalan baik.

"Dalam konteks negara jumlah yang banyak itu artinya besar, buat saya bagus, negara kita kan negara besar. Tantangan kita besar, target target kita besar," kata Habiburokhman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada 6 Mei 2024.

"Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar,” ujarnya lagi.

Baca juga: Pakar: Jika Revisi UU Kementerian Negara atau Perppu Dilakukan Sekarang, Tunjukkan Prabowo-Gibran Semacam Periode Ke-3 Jokowi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Nasional
Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk 'Back Up' Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk "Back Up" Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Nasional
Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Nasional
Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Nasional
Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Nasional
Adian Sebut PDI-P Siap jika Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilkada 2024

Adian Sebut PDI-P Siap jika Jokowi "Cawe-cawe" di Pilkada 2024

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Kembalikan Uang Rp 600 Juta

KPK Sebut Keluarga SYL Kembalikan Uang Rp 600 Juta

Nasional
Dituntut 12 Tahun Bui, SYL Sebut KPK Tak Pertimbangkan Kontribusinya di Masa Krisis

Dituntut 12 Tahun Bui, SYL Sebut KPK Tak Pertimbangkan Kontribusinya di Masa Krisis

Nasional
Pastikan Upacara HUT RI Ke-79 di IKN Aman, BNPT Gelar Asesmen di Beberapa Titik Vital

Pastikan Upacara HUT RI Ke-79 di IKN Aman, BNPT Gelar Asesmen di Beberapa Titik Vital

Nasional
KPK Cecar Said Amin soal Sumber Uang Pembelian 72 Mobil dan 32 Motor Eks Bupati Kukar

KPK Cecar Said Amin soal Sumber Uang Pembelian 72 Mobil dan 32 Motor Eks Bupati Kukar

Nasional
Imigrasi Sebut Pelayanan Visa hingga Paspor Online Sudah Pulih 100 Persen

Imigrasi Sebut Pelayanan Visa hingga Paspor Online Sudah Pulih 100 Persen

Nasional
Jemaah Haji Belum ke Masjidil Haram, Difasilitasi PPIH Doa di Depan Kabah

Jemaah Haji Belum ke Masjidil Haram, Difasilitasi PPIH Doa di Depan Kabah

Nasional
Bantah Nasdem soal Bakal Cawagub Anies, PKS: Wagubnya Harus Sohibul Iman

Bantah Nasdem soal Bakal Cawagub Anies, PKS: Wagubnya Harus Sohibul Iman

Nasional
Tak Ada Uang Pengganti, Jaksa KPK Banding Vonis Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan

Tak Ada Uang Pengganti, Jaksa KPK Banding Vonis Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan

Nasional
Rincian Aliran Uang yang Diterima dan Dipakai SYL untuk Pribadi, Keluarga hingga Partai Nasdem

Rincian Aliran Uang yang Diterima dan Dipakai SYL untuk Pribadi, Keluarga hingga Partai Nasdem

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com