Dengan demikian, perlu segera dimunculkan kesadaran untuk membangun integrasi yang kokoh antara pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat sebagai suatu ekosistem pendidikan yang menguatkan kesalehan diri, identitas kebangsaan, kemampuan resiliensi, dan kepekaan sosial.
Pada sesi yang sama, tokoh pendidikan Zain Uchrowi menyampaikan, pendidikan semestinya humanistik, yakni pascamodern/rasa dan logika jika seimbang menggunakan otak kanan (rasa/tradisional) dan kiri (logika/modern).
“Merdeka belajar pendidikan itu diawali dengan ingin jadi manusia seperti apa yang diinginkan, lalu deliver dengan tabiat akhlak,” ujarnya.
Baca juga: Gandeng Dompet Dhuafa, Siswa MHIS Kumpulkan Rp 282 Juta untuk Bangun Sekolah
Dia menilai, generasi muda sekarang yang pada 2045 nanti akan menjadi aktor penting dan penentu dalam kemajuan Indonesia perlu mendapatkan pendidikan dan pengembangan diri yang memadai agar siap masuk ke dalam dunia kerja, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
Namun, kata Zain, selain masih terdapat persoalan akses, kualitas belajar di sekolah dan perguruan tinggi dinilai belum cukup baik.
Akibatnya, bekal keterampilan yang dibutuhkan belum bisa sepenuhnya mencukupi dan banyak tidak sejalan dengan kebutuhan dunia kerja masa depan.
“Kecakapan minimum untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang siap mengatasi dinamika perubahan dunia masih jauh panggang dari apinya,” ujarnya.
Pembicara lainnya, guru besar sekaligus penulis buku Adiam Husaini menyampaikan, minat seseorang menjadi guru saat ini bukan pilihan teratas. Sebab, kebanggaan ada jika menyebut memilih profesi yang lain.
Baca juga: Dompet Dhuafa Panen Raya Melon Greenhouse PTGL bersama Donatur, Bukti Wakaf Alirkan Banyak Manfaat
“Jadi guru itu mulia. Apa itu pendidikan? Pengajaran, dalam istilah sejarah Indonesia-Belanda, adalah proses penanaman nilai,” ujarnya.
Adiam menyebutkan, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai, akhlak, kejujuran, dan kebahagiaan, bukan mengejar hal materialistis individu dan benda.
“Tugas nabi itu tiga, yaitu tilawah, tadkiyah, dan ta’lim. Rangkumannya jadi ta’dim. Maka, misi nabi membentuk akhlakul kharimah,” katanya.
Dia mengatakan, negara atau pendidikan maju bukan tentang uang. Masalah Indonesia juga bukan kaya atau miskin, tetapi akhlak.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, baru bangun jalan tol, gedung, dan seterusnya,” ujarnya.
Direktur Eksekutif GREAT Edunesia Mulyadi Saputra mengatakan, esensi futuristik pendidikan merupakan dimensi keberlanjutan dan inovasi pendidikan.
Baca juga: Peduli Lingkungan, DMC Dompet Dhuafa dan Pemkot Ternate Teken Kerja Sama Pengelolaan Sampah
Terdapat tiga fungsi guna memastikan skema keberlanjutan inovasi, yaitu fungsi discovery (produksi inovasi) oleh institusi pendidikan, fungsi produksi dan komersialisasi dengan model produksi dan pemasaran, dan fungsi regulasi dengan mengatur optimasi, pemanfaatan, dan payung hukum.
“Inovasi pendidikan pun erat dengan brainstorming, prototype, industrialisasi, komersialisasi, evaluasi, dan improvement,” sebutnya.
Adapun GREAT Edunesia menjadi mitra pengelola program Dompet Dhuafa dalam bidang pendidikan yang berkhidmat kepada publik di bidang pendidikan untuk pemberdayaan.
Selama ini, pengalaman program pendidikan Dompet Dhuafa berhasil memberikan dampak secara jangka panjang terhadap perubahan status ekonomi dan kontribusi bagi mereka yang membutuhkan.