Dengan definisi demikian, tentu Mahkamah telah membatasi dirinya untuk lebih jauh memeriksa sengketa proses.
Kalau terjadi pelanggaran yang cukup terang dan nyata dilakukan oleh para calon, maupun penyelenggara pemilu, tapi tidak dipersoalkan oleh peserta pemilu, pengawas pemilu atau masyarakat sebagai pemantau selama proses tersebut, maka konsekuensi hukumnya semua proses itu diterima dan harus dinyatakan proses itu sah menurut hukum.
Kalau setiap proses telah dilewati, tidak ada keberatan, tentu semua pihak menerima proses itu, sampai pada penetapan hasil Pemilu dilakukan secara nasional oleh KPU.
Dalam setiap proses rekapitulasi, mulai dari tingkat tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional, selalu tersedia mekanisme penyelesaian apabila ada keberatan dari saksi-saksi maupun temuan Bawaslu terhadap proses rekapitulasi itu.
Pelanggaran atau kejahatan dapat diketahui dan dibuka apabila ada bukti. Bukti tersebut harus mulai di tingkat TPS.
C1 Hasil atau C1 Lidi yang ditulis di TPS akan dibuka kembali di tingkat kecamatan apabila terjadi manipulasi di C1 Salinan, dan begitu pula seterusnya sampai tingkat nasional.
Dalam proses rekapitulasi hasil ini, bisa saja terjadi pembiaran atas manipulasi hasil dan tidak diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), sehingga terjadi pembiaraan terhadap pelanggaran pemilu.
Namun, apakah masalah pembiaraan terhadap pelanggaran saat proses rekapitulasi ini juga menjadi bukti para pemohon?
Sejauh pengamatan saya, sidang Mahkamah tidak menghadirkan bukti-bukti demikian. Padahal bukti itulah yang akan menjadi penguat adanya persekongkolan antara Paslon tertentu dengan penyelenggara pemilu sehingga menimbulkan kerugian bagi Paslon lainnya.
Dalil gugatan yang bertendensi pada masalah Bansos dan pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres Prabowo Subianto, adalah sesuatu yang tidak masuk pada ranah sengketa menurut Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan tidak masuk kategori sengketa Hasil Pemilu menurut UU 7 Tahun 2017 maupun PMK 4/2023.
Gugatan 01 dan 03 tidak sedikitpun menyentuh ranah saat rekapitulasi hasil Pemilu. Mereka hanya mempersoalkan Sirekap sebagai alat bantu dengan mendalilkan bahwa KPU menggunakan Sirekap sebagai alat kecurangan.
Bagaimana caranya Sirekap dapat memengaruhi hasil, sehingga memenangkan Prabowo-Gibran? Sementara hasil Pemilu ditetapkan berdasarkan hitungan manual KPU yang berjenjang dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.
Apakah masih relevan menggunakan Sirekap sebagai dalil gugatan, sementara hasil akhir tetap mengacu pada rekapitulasi manual KPU?
Misalnya Sirekap memang menjadi alat bantu kecurangan, apakah dengan demikian hitungan manual KPU ditolak karena Sirekapnya bermasalah?
Kalau hitungan manual KPU ditolak dan Sirekap juga bermasalah, apakah keputusan KPU tentang seluruh Hasil Pemilu 2024 dengan sendirinya tidak sah dan harus ditolak?