Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

Kompas.com - 18/04/2024, 10:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SIDANG Sengketa Perkara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dimulai pada 27 Maret 2024 dan ditutup pada 5 April 2024, masih hangat dan menarik untuk diperdebatkan.

Menarik karena setelah sidang pembuktian ditutup, Mahkamah meminta kepada para pihak: pemohon, termohon, dan pihak terkait untuk memberikan kesimpulan. Suatu yang baru dalam sidang MK mengenai sengketa Pilpres, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Penyerahan kesimpulan tidak dikenal dalam hukum acara PHPU Pilpres di MK dan tidak diatur dalam PMK 4 Tahun 2023 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun tidak diatur dalam PMK, Mahkamah telah memperlihatkan keseriusannya dalam memeriksa dan mengadili perkara PHPU Pilpres 2024 dengan menerapkan mekanisme beracara yang lengkap dan sempurna selama proses sidang hingga pembuktian.

Selain penyerahan kesimpulan, muncul juga opini atau pendapat hukum masyarakat berupa Amicus Curiae (Friend of The court) atau “sahabat pengadilan” yang memberikan pendapat hukum dalam PHPU.

Lebih menarik lagi ketika Mahkamah memanggil saksi-saksi dari pihak pemerintah untuk memberikan keterangan, guna mengklarifikasi beberapa dalil gugatan, seperti pengerahan Bantuan Sosial.

MK meminta keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Selain memanggil para menteri, Mahkamah juga memanggil Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk dimintai kesaksian mengenai persoalan etik KPU.

Semua keseriusan ini patut kita apresiasi. Mahkamah tidak hanya terpaku pada persoalan waktu penyelesaian perkara, tetapi juga menghadirkan substansi dari pokok permohonan.

Dalil para pemohon, termohon, dan pihak terkait tidak sekadar saling sanggah, tetapi menghadirkan juga kesaksian dari pihak lain yang memiliki hubungan dengan dalil gugatan.

Meskipun pemanggilan terhadap menteri tidak relevan, tetapi Mahkamah telah mengaktifkan naluri “judicial activism” hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran dari semua permohonan yang diajukan ke Mahkamah.

Cara hakim Mahkamah memeriksa perkara PHPU Pilpres 2024 patut kita apresiasi, sebagai cara untuk menghidupkan suasana persidangan, sehingga semua dalil gugatan mendapatkan jawaban dari kesaksian dan fakta yang ada di lapangan. Dengan demikian, gugatan tidak kering dan persidangan menjadi semakin hidup.

Terlepas dari cara Hakim Mahkamah untuk mengklarifikasi berbagai dalil gugatan yang diajukan para pemohon (Paslon 01 dan 03), sengketa Pilpres adalah sengketa hasil Pemilu, yang tidak memiliki hubungan langsung dengan proses Pemilu, kecuali Mahkamah ingin mengambil keterangan supaya jelas dan terang duduk perkaranya.

Mahkamah tidak memeriksa proses

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PMK Nomor 4 Tahun 2023, Mahkamah mendefinisikan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah perselisihan antara Peserta Pemilu dengan KPU mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

Artinya, PHPU adalah sengketa penetapan perolehan suara hasil pemilu yang dilakukan oleh KPU, bukan sengketa proses pemilu.

Dengan definisi demikian, tentu Mahkamah telah membatasi dirinya untuk lebih jauh memeriksa sengketa proses.

Kalau terjadi pelanggaran yang cukup terang dan nyata dilakukan oleh para calon, maupun penyelenggara pemilu, tapi tidak dipersoalkan oleh peserta pemilu, pengawas pemilu atau masyarakat sebagai pemantau selama proses tersebut, maka konsekuensi hukumnya semua proses itu diterima dan harus dinyatakan proses itu sah menurut hukum.

Kalau setiap proses telah dilewati, tidak ada keberatan, tentu semua pihak menerima proses itu, sampai pada penetapan hasil Pemilu dilakukan secara nasional oleh KPU.

Dalam setiap proses rekapitulasi, mulai dari tingkat tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional, selalu tersedia mekanisme penyelesaian apabila ada keberatan dari saksi-saksi maupun temuan Bawaslu terhadap proses rekapitulasi itu.

Pelanggaran atau kejahatan dapat diketahui dan dibuka apabila ada bukti. Bukti tersebut harus mulai di tingkat TPS.

C1 Hasil atau C1 Lidi yang ditulis di TPS akan dibuka kembali di tingkat kecamatan apabila terjadi manipulasi di C1 Salinan, dan begitu pula seterusnya sampai tingkat nasional.

Dalam proses rekapitulasi hasil ini, bisa saja terjadi pembiaran atas manipulasi hasil dan tidak diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), sehingga terjadi pembiaraan terhadap pelanggaran pemilu.

Namun, apakah masalah pembiaraan terhadap pelanggaran saat proses rekapitulasi ini juga menjadi bukti para pemohon?

Sejauh pengamatan saya, sidang Mahkamah tidak menghadirkan bukti-bukti demikian. Padahal bukti itulah yang akan menjadi penguat adanya persekongkolan antara Paslon tertentu dengan penyelenggara pemilu sehingga menimbulkan kerugian bagi Paslon lainnya.

Dalil gugatan yang bertendensi pada masalah Bansos dan pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres Prabowo Subianto, adalah sesuatu yang tidak masuk pada ranah sengketa menurut Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan tidak masuk kategori sengketa Hasil Pemilu menurut UU 7 Tahun 2017 maupun PMK 4/2023.

Gugatan 01 dan 03 tidak sedikitpun menyentuh ranah saat rekapitulasi hasil Pemilu. Mereka hanya mempersoalkan Sirekap sebagai alat bantu dengan mendalilkan bahwa KPU menggunakan Sirekap sebagai alat kecurangan.

Bagaimana caranya Sirekap dapat memengaruhi hasil, sehingga memenangkan Prabowo-Gibran? Sementara hasil Pemilu ditetapkan berdasarkan hitungan manual KPU yang berjenjang dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.

Apakah masih relevan menggunakan Sirekap sebagai dalil gugatan, sementara hasil akhir tetap mengacu pada rekapitulasi manual KPU?

Misalnya Sirekap memang menjadi alat bantu kecurangan, apakah dengan demikian hitungan manual KPU ditolak karena Sirekapnya bermasalah?

Kalau hitungan manual KPU ditolak dan Sirekap juga bermasalah, apakah keputusan KPU tentang seluruh Hasil Pemilu 2024 dengan sendirinya tidak sah dan harus ditolak?

Kalau begitu konsekuensinya Pemilu 2024 harus diulang, karena Sirekap tidak hanya digunakan untuk Pilpres, tapi juga untuk Pileg.

Konsekuensi ini tidak menjadi pertimbangan bagi para pemohon untuk menyebutkan telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif.

Di satu sisi para pemohon mendalilkan terjadi pelanggaran TSM, tapi di sisi lain TSM berupa manipulasi Bansos, Sirekap, hanya untuk Pilpres, tidak “berani” menyentuh Pileg, suatu permohonan “tanggung”.

Menelisik arah putusan Mahkamah

Berdasarkan uraian di atas, PHPU Pilpres 2024 sulit untuk mengubah hasil Pilpres. Sebab permohonan para pemohon hanya berpaku pada argumentasi proses dan cenderung politis, jauh dari sengketa hasil pemilu.

Karena itu, berdasarkan ketentuan PMK 4/2023, Mahkamah dalam sengketa Pilpres hanya menilai hasil, dengan menggunakan tiga bentuk amar Amar Putusan - kecuali dalam keadaan tertentu Mahkamah dapat menambahkan amar lain.

Amar tersebut adalah:

A. Permohonan tidak dapat diterima. Apa penyebab permohonan tidak dapat diterima? Sebabnya pemohon tidak memiliki legal standing; pemohon mendalilkan sesuatu di luar dari Surat Keputusan Termohon (KPU) yang dapat memengaruhi hasil pemilu, atau setidaknya dapat memengaruhi hasil untuk paslon masuk putaran kedua; permohonan diajukan setelah lewat 3 hari setelah keputusan termohon keluar; permohonan tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan.

B. Menyatakan menolak permohonan pemohon. Permohonan ditolak karena tidak beralasan menurut hukum.

Di antaranya: pemohon tidak dapat membuktikan dalil gugatanya; permohonan tidak beralasan karena dalil pemohon tidak sesuai dengan keputusan hasil pemilu (keputusan KPU) yang menjadi objek sengketa PHPU.

C. Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon karena beralasan menurut hukum. Permohonan dikabulkan apabila Mahkamah menilai dalil permohonan dapat dibuktikan, permohonan merupakan bagian dari sengketa hasil pemilu sebagaimana dalam ketentuan peraturan perindang-undangan.

Dalam kondisi tertentu Mahkamah dapat mengambil keputusan lain dan sering kita lihat dalam perkembangan putusan Mahkamah dalam perkara pengujian UU.

Namun dalam konteks perkara Pilpres, Mahkamah tidak dapat memiliki pendapat lain, kecuali apa yang menjadi objek perkara yang dapat memengaruhi hasil.

Kecuali ada situasi tertentu yang mengharuskan Mahkamah mencari dan menemukan sendiri kebenarannya dan mengesampingkan para pihak. Ini sangat bergantung pada situasi politik, dan kalau itu terjadi, kita akan melihat susunan Hakim yang menyidangkan Perkara di MK.

Menurut saya, dalam sengketa PHPU Pilpres 2024 ini, sepertinya Mahkamah akan menolak permohonan pemohon.

Sebab yang dipersoalkan oleh para pemohon tidak menyangkut hasil Pemilu yang berkaitan dengan pencoblosan dan rekapitulasi, melainkan menarik ke masa kampanye. Suatu masa yang sangat jauh dengan kata “hasil pemilu”.

“Hasil pemilu” dengan “proses pemilu” adalah dua waktu yang berbeda, dan memiliki mekanisme penyelesaian berbeda.

Mahkamah tidak boleh mengadili proses, karena itu tugas penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, Sentra Gakkumdu dan DKPP).

Kalau mengadili proses, maka Mahkamah melanggar batas kewenangannya, yaitu ketentuan Pasal 24C ayat (1), ketentuan UU No.7/2017 dan ketentuan PMK No. 4/2023.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com