Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Ultimatum Moral Negarawan Megawati Soekarnoputri

Kompas.com - 09/04/2024, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Megawati sesungguhnya mau mengatakan bahwa pengabaian pada etika sama saja artinya sedang meruntuhkan kewibawaan hukum.

Konteks dan ultimatum moral negarawan Megawati

Secara kontekstual, pandangan dan sikap politik Megawati dalam sengketa pilpres 2024 yang tertuang dalam artikel opininya itu menggambarkan konteks dinamika politik saat ini.

Maknanya Megawati semacam memberikan jawaban tegas pada kondisi politik saat ini.

Misalnya, ia mencatat bahwa Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi kecurangan hingga ia kategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan di saat yang sama dibingkai dengan praktik nepotisme yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden.

Dalam konteks itu, Megawati masih memberikan harapan terakhirnya pada Mahkamah Konstitusi (MK), lebih khusus Megawati sebut kepada “Sembilan dewa” penyelamat konstitusi.

Pada titik ini, mungkin Megawati lupa bahwa kini pengambil putusan di MK tinggal delapan orang hakim, bukan lagi sembilan, karena Anwar Usman sang paman yang divonis MKMK telah melanggar Etika Berat tidak diperkenankan mengadili sengketa pilpres tahun 2024 ini,

Mengapa Megawati masih memberikan harapan pada delapan hakim tersebut?

Sebenarnya dapat dibaca cara berpikir Megawati bahwa itulah cara konstitusional yang paling mungkin dilakukan untuk memutuskan perkara sengketa pilpres.

Karena itu, Megawati kemudian mengatakan bahwa ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.

Saya kira itu bukan sekadar narasi Amicus Curiae, tetapi ultimatum moral negarawan Megawati Soekarnoputri.

Problemnya bagaimana jika Hakim Mahkamah Konstitusi memilih jalan kegelapan demokrasi? Semoga itu tidak terjadi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com