Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Ultimatum Moral Negarawan Megawati Soekarnoputri

Kompas.com - 09/04/2024, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENANTIAN publik terhadap pandangan dan sikap politik Megawati Soekarnoputri soal sengketa Pemilu 2024, akhirnya terbaca melalui artikel opininya di media Kompas pada
Senin, 8 April 2024.

Artikel opini Megawati itu berjudul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi". Artikel itu mendorong publik semacam mengajukan pertanyaan, bagaimana kita membaca atau setidaknya menangkap tanda bermakna dari artikel opini Megawati tersebut?

Penulis mencoba untuk membaca dan menangkap pesan substantif Megawati tersebut dengan meminjam metode Critical Discourse Analysis (CDA) dari Van Dijk yang terungkap dalam karya-karyanya seperti Social Cognition and Discourse (1990), Discourse, Power, and Access (1996), Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction (1997), dan Discourse, Interaction and Cognition (2006).

Secara substantif, menurut Van Dijk (1997), suatu wacana yang dikemukakan di arena publik memiliki tiga bangunan, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Inti analisis van Dijk (1997) adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam kesatuan analisis.

Penulis memahami bahwa pada periode pemerintahan ini, Megawati sesungguhnya menjadi bagian penting dari terpilihnya Joko Widodo yang menjadi Presiden sejak 2014 lalu. Saat itu, Joko Widodo dicalonkan melalui partai PDI Perjuangan.

Saat membaca artikel Megawati, sejenak penulis berimajinasi andai berada dalam satu gerbong kekuasaan saat ini, tentu sejak lima tahun lalu penulis sudah meninggalkan pemerintahan ini sejak Joko Widodo terlibat dalam revisi UU KPK pada 2019.

Sayangnya, Megawati tidak melakukan itu, mungkin masih berpikir bahwa ada kemungkinan Joko Widodo berubah, nyatanya Jokowi kemudian tidak berubah.

Dalam dua tahun terakhir, sepertinya Megawati mengambil sikap bahwa kekuasaan yang despotis harus segera ditinggalkan.

Menariknya, cara Megawati meninggalkan Jokowi tidak langsung secara fisik, misalnya, menarik seluruh menterinya dari kabinet. Megawati menggunakan cara yang membuat diskursus publik terjadi.

Ada semacam kesabaran Megawati, atau kehati-hatian, sembari membangun kesadaran publik melalui wacana atau membuat narasi perlawanan terhadap presidennya sendiri.

Itu terlihat sejak Megawati menolak ide perpanjangan tiga periode kekuasaan Joko Widodo, menolak upaya penundaan Pemilu, dan menolak Jokowi yang berkeinginan menjadi penentu capres PDIP, bahkan berhasrat menjadi ketua umum PDIP melalui utusanya.

Teks kekhawatiran dan puncak kegelisahan Megawati

Secara teks, artikel opini Megawati yang berjudul Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi, selain menyampaikan pesan substansial kepada para hakim MK, juga dapat dimaknai sebagai akumulasi dari puncak kegelisahan, kekecewaan, dan membatinya Megawati pada kekuasaan yang mengabaikan etika dan moral yang dilakukan secara vulgar.

Bahkan, menurut Megawati, dilakukan dengan cara memanipulasi hukum dan konstitusi.

Teks artikel opini Megawati itu secara wacana memiliki pesan jamak atau multi pesan. Di satu sisi memberi pesan kepada hakim MK sebagai negarawan agar mampu mengambil putusan adil untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum ini.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com