JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota tim hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Bambang Widjojanto mempertanyakan kesalahan data yang diinput dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang mencapai ribuan dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Padahal, batas maksimal Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam satu TPS hanya mencapai 300 orang.
Dia lantas mempertanyakan mengapa data yang terinput justru mencapai ribuan, jauh berbeda dibanding dengan data sesungguhnya.
Kemudian, kepada ahli bidang teknologi informasi yang dihadirkan KPU RI, Prof Marsudi Wahyu Kisworo, Bambang bertanya apakah kesalahan data ini bisa dianggap fraud (penipuan).
Baca juga: MK Sarankan KPU Bawa Bukti Lebih Kuat Usai Terdesak Masalah Sirekap
"Ada begitu banyak TPS yang jumlah pemilihnya melebihi batas maksimal DPT, padahal maksimal DPT-nya per TPS 300," kata Bambang dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (3/4/2024).
"Kalau ada informasi kayak ini, dan ribuan, bahkan ratusan ribu, apakah itu tidak cukup dijadikan dasar untuk sampai pada kesimpulan ada fraud di dalam (Sirekap) situ?" ujarnya lagi.
Bambang juga mempertanyakan alasan KPU RI tidak memverifikasi hasil Sirekap mobile apps sebelum dimasukkan ke Sirekap web.
Sebab, menurut penjelasan ahli, harusnya lembaga penyelenggara Pemilu perlu memverifikasi data Sirekap mobile apps sebelum diinput ke dalam Sirekap Web agar tidak terjadi kesalahan.
Baca juga: Hakim MK Cecar KPU Ungkap Masalah Sirekap: Jawabannya Minim, Hanya Jelaskan Alat Bantu
Dalam beberapa hal, ahli Wahyu Kisworo mengatakan, Sirekap mobile apps berpotensi salah membaca form C1 karena tulisan tangan yang berbeda-beda di tiap TPS, bentuk kertas, hingga kualitas kamera ponsel.
"Prof tadi mengatakan untuk tahun mendatang perlu ada verifikasi. Apakah dengan begitu dapat diberikan pandangan Sirekap ini bermasalah karena tidak ada sistem yang memverifikasi itu?" tanya Bambang lagi.
Di sisi lain, Bambang menyampaikan temuan timnya terkait perubahan fitur pada Sirekap mobile apps pada 10 Februari 2024, tepat empat hari sebelum pemungutan suara.
Fitur tersebut memberikan keleluasaan pada owner untuk mengubah hasil. Dengan kata lain, beberapa pihak tertentu diberikan akses untuk mengubah data.
Baca juga: Ahli KPU Ungkap Penyebab Sirekap Salah Baca Data TPS, di Antaranya Kualitas Kamera
Kemudian, Bambang mempertanyakan pengujian originalitas form C-hasil oleh KPU RI.
"Jadi bagaimana kita bisa mengakui originalitas dan autentisitas dari C-hasil yang dikirimkan itu? Baik mobile apps atau Sirekap (web) harusnya memiliki keamanan data, transparansi dan akuntabilitas serta audit dan verifikasi. Berkenaan dengan ini, apa pendapat ahli dengan mobile apps dan Sirekap kita?" ujar Bambang.
Sebelumnya diberitakan, Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Bina Darma Marsudi Wahyu Kisworo mengatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan aplikasi Sirekap salah membaca data hasil penghitungan suara di TPS.
Awalnya, Marsudi menjelaskan bahwa ada dua jenis Sirekap, yakni Sirekap Mobile berupa aplikasi yang terdapat di telepon seluler Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di setiap TPS dan Sirekap web yang menampilkan hasil rekapitulasi suara lewat situs infopemilu.kpu.go.id.
"Flow-nya adalah data itu masuk dari Sirekap mobile, kemudian Sirekap web tugasnya adalah lebih kepada untuk melakukan konsolidasi rekapitulasi dan sebagainya, kemudian virtualisasi atau mengekspor datanya ini ke web," kata Marsudi.
Baca juga: MK Sarankan KPU Bawa Bukti Lebih Kuat Usai Terdesak Masalah Sirekap
Dia menjelaskan, Sirekap mobile menggunakan teknologi optical character recognition (OCR) untuk memindai hasil foto form hasil C1 penghitungan suara di setiap TPS.
Mekanisme itu merupakan pengembangan dari aplikasi Sistem Informasi Hitung (Situng) yang digunakan pada Pemilu 2019 lalu yang mengharuskan petugas KPPS mengisi angka secara manual.
"Kalau Situng dulu angkanya di-entry manual, sehingga bisa timbul kehebohan seolah-olah ada kesengajaan entri yang dinaikkan dan sebagainya, maka teman-teman developer untuk sirekap ini menggunakan secara otomatis jadi tulisan yang ada di C1 hasil itu di-scan, kemudian di-capture, diubah menjadi angka," ujar Marsudi.
Marsudi mengatakan, di sinilah masalah mulai terjadi, yakni ada perbedaan jenis tulisan tangan dari setiap anggota KPPS yang tersebar di 822.000 TPS se-Indonesia.
"Dalam menuliskan angka saja style-nya itu bisa berbeda-beda, ada yang menuliskan angka 4 dengan kayak kursi terbalik, atasnya terbuka, tapi ada juga yang tertutup atasnya. Demikian juga angka-angka lain, 1 ada yang menggunakan topi dan sepatu, ada yang cuma garis saja," kata Marsudi.
Baca juga: Saksi Ganjar-Mahfud Klaim Ada Jutaan Selisih Suara di Sirekap KPU
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.