Meskipun UU ini sempat mengalami pro kontra sejak pengusulannya tahun 2012, namun akhirnya UU ini berhasil disahkan dengan dorongan para wakil rakyat yang berorientasi pada kepentingan perempuan.
Begitu juga dengan UU yang masih dalam pembahasan di DPR saat ini, seperti UU Kesejahteraan Ibu dan Anak serta UU Pekerja Rumah Tangga.
Produk legislasi yang berorientasi pada kebutuhan perempuan tersebut menunjukan betapa pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen.
Memang tidak ada jaminan bahwa semua perempuan akan selalu memperjuangkan kepentingan perempuan. Terlebih, bagi mereka yang dicalonkan dan terpilih hanya untuk menjadi ‘pelengkap’ dan penunjang syarat formil.
Namun, bagaimanapun juga suara perempuan dalam proses pembentukan kebijakan sangatlah krusial.
Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara juga telah mengatur soal kuota minimum keterlibatan perempuan di Parlemen yang jumlahnya bahkan bisa mencapai 50 persen seperti di Bolivia.
Namun, ini tidak hanya sekadar permasalahan kuantitas. Sebab, yang tak kalah penting adalah keterwakilan perempuan yang benar-benar mampu bersuara dan memperjuangkan kebutuhan serta kepentingan perempuan.
Salah satu faktor penyebab tidak pernah tercapainya keterwakilan perempuan di parlemen adalah masalah penegakan regulasi.
Selama ini, penyelenggara Pemilu tidak pernah bertindak tegas dalam menyikapi partai politik yang belum memenuhi syarat pencalonan keterwakilan perempuan.
Ironisnya, KPU pernah menerbitkan PKPU No.10 Tahun 2023 yang mengatur bahwa perhitungan jumlah pencalonan caleg perempuan oleh setiap partai akan dibulatkan ke bawah.
Ironi tersebut juga tercermin dari komposisi anggota KPU dan Bawaslu yang minim kesetaraan. Hal ini menunjukan masih belum adanya komitmen pemerintah dalam mendukung keterwakilan perempuan.
Selain itu, sistem kaderisasi partai politik dan kurangnya pendampingan partai politik terhadap perempuan yang benar-benar ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR.
Belum lagi, beberapa perempuan masih harus mengalami budaya patriaki yang kental dalam lingkunganya. Bahkan lingkungan sekitar menjadi penghambat seorang perempuan untuk terjun di ranah politik.
Pun ketika sudah berhasil terjun dalam ranah politik, tak jarang suara perempuan menjadi redup akibat minimnya afirmasi dan keberpihakan terhadap mereka.
Karena itu, pendidikan, pelatihan, dan dukungan terhadap para perempuan yang ingin hadir dan berperan dalam kontestasi politik dan pembentukan kebijakan publik harus benar-benar dimasifkan.
Bagaimanapun juga suara dan keterwakilan perempuan dalam pembentukan kebijakan sangkatlah krusial dan menjadi agenda yang harus diprioritaskan.
Menyambut Hari Perempuan Internasional, mari kita dukung partisipasi perempuan dalam sektor politik. Pemerintah juga harus membuktikan kebijakan afirmasi kuota perempuan di parlemen tidak hanya sekadar basi-basi.
Sebab, keberadaan perempuan dalam ranah politik dan kebijakan publik tidak boleh hanya sekadar dihitung, melainkan juga harus diperhitungkan demi representasi yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Selamat Hari Perempuan Internasional!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.