Dalam The Phenomenon of Suicide Bombing (2006), anak-anak disebut sangat ‘menarik’ untuk dilibatkan dalam berbagai aksi kekerasan karena mereka masih mudah untuk dieksploitasi.
Para pelaku kekerasan juga lebih mudah memaksa anak-anak untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Selain itu, pelibatan anak dalam serangkaian aksi brutal ini juga dilatari pertimbangan publisitas media.
Erez, E., & Berko, A. (2014) menyebut, anak-anak mulai sangat sering dilibatkan dalam konflik kekerasan. Hal ini bisa disaksikan di konflik-konflik yang terjadi di Sierra Leone, Liberia, Kongo, Sudan, Afghanistan, dan Myanmar.
Sementara khusus terkait terorisme, terdapat di sejumlah wilayah konflik di Turkiye, Irak, Israel, dan Palestina.
Dalam konteks anak-anak Indonesia yang terlibat (atau lebih tepat; dilibatkan) di kelompok ISIS, Satuan Tugas Penanggulangan FTF (Foreign Terrorist Fighter) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengonfirmasi sedikitnya 145 anak Indonesia menghuni kamp di Suriah. Mereka terdiri dari 69 anak lelaki dan 76 anak perempuan.
Penanganan terhadap anak-anak ini ibarat simalakama. Di satu sisi, pemerintah menyadari bahwa negara wajib melindungi warganya, termasuk anak-anak –salah satunya dengan menerima mereka kembali pulang ke Indonesia.
Namun di sisi lain, anak-anak yang telah terdoktrin ajaran kekerasan dan bahkan pernah terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan, tentu tidak akan mudah berintegrasi dengan masyarakat umum.
Sejauh ini, baru tiga negara yang memutuskan untuk menerima kepulangan anak-anak, yakni Swedia, Jerman, dan Uzbekistan.
Di Swedia dan Uzbekistan, anak-anak yang pulang diikutkan program adopsi, tetapi program ini tidak berjalan lancar karena anak-anak kewalahan mengontrol emosi; mereka kerap berkata dan bersikap kasar.
Hal serupa juga terjadi di Jerman, di mana anak-anak akhirnya harus mendapat pendampingan psikososial.
Di Indonesia, anak-anak yang terafiliasi jaringan terorisme mendapat jaminan perlindungan hukum melalui UU Perlindungan Anak No.35 Tahun 2014.
UU ini menempatkan anak-anak yang terafiliasi dengan organisasi terorisme sebagai korban, bukan sebagai pelaku, sehingga fokus penanganannya bukan pada upaya pemidanaan, tetapi perlindungan.
Temuan di lapangan, anak-anak dari orangtua yang terlibat aktif di kelompok dan aksi teroris, terutama anak laki-laki, sangat potensial mewarisi ideologi radikal. Warisan lain yang dimiliki anak-anak –termasuk anak perempuan—adalah dendam.
Warisan jenis ini sangat berat untuk diatasi. Karenanya, diperlukan regulasi khusus yang mengatur penanganan anak-anak yang terafiliasi dengan organisasi terorisme.
Regulasi tersebut mencakup berbagai aspek yang fokus pada rehabilitasi dan reintegrasi. Langkah-langkah tersebut melibatkan program rehabilitasi yang menitikberatkan pada perubahan pola pikir anak-anak, perlindungan identitas untuk menghindari stigmatisasi, pengawasan ketat selama periode reintegrasi, kolaborasi antar-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, program pendidikan untuk menghilangkan pemahaman ekstremis, serta pelepasan bersyarat yang berlandaskan pada evaluasi dan perubahan perilaku positif.
Melibatkan keluarga dalam proses rehabilitasi dan memberikan pelatihan khusus bagi personel penanganan anak-anak merupakan bagian integral dari regulasi ini.
Regulasi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan anak-anak dari pengaruh terorisme dan memfasilitasi reintegrasi mereka sebagai anggota konstruktif dalam masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.