Sementara untuk mengidentifikasi Kaesang dengan Jokowi rasanya sangat sulit. Bagaimana caranya mengasosiasikan Kaesang dengan Jokowi, lah wong jadi wali kota saja belum, lalu menjadi ketua umum partai yang pada pesta demokrasi pada 2019 lalu justru malah tak lolos ke parlemen sama sekali.
Jadi ada "garis terputus" antara Kaesang dengan Jokowi secara elektoral asosiasional.
Bahkan saat PSI dengan "getol" mengiklankan diri sebagai partainya Jokowi sekalipun, publik nampaknya tidak terlalu terpengaruh.
Karena pemilih Indonesia, meskipun sering dikatakan berpendidikan belum terlalu tinggi, sangat paham untuk membedakan antara Jokowi yang "besar" dengan PSI yang "kecil".
Jadi secara sederhana publik akan berkesimpulan bahwa kampanye PSI hanya "candaan" putus asa PSI dalam mencari suara.
Sebut saja, misalnya, Jokowi memang secara ikhlas bersedia mengasosiasikan namanya dengan PSI. Namun Jokowi tak bisa mendiktekan pemahaman publik bahwa Jokowi selama ini memang tidak dimenangkan oleh PSI, tapi oleh partai-partai politik besar.
Jokowi pun tentu tidak bisa membantah fakta itu, meskipun tetap bersedia dijadikan sebagai bagian dari simbol-simbol utama PSI.
Bahkan ratusan miliar uang yang kabarnya dihabiskan untuk membayar ratusan ribu spanduk dan billboard yang menceritakan bahwa PSI adalah partai Jokowi, tidak akan mengubah fakta bahwa PSI memang bukanlah partai yang memenangkan Jokowi, baik di pemilihan 2019 maupun 2024.
Sehingga tak salah pula jika pemilih pada akhirnya tidak tunduk pada narasi-narasi tersebut, karena faktanya memang bukan demikian.
Sementara di aras lain, memang ada beberapa pengamat yang berteori atas kekalahan PSI. Menurut mereka, PSI kalah karena terlalu bersifat "kota sentris".
Boleh jadi pergerakan PSI memang "kota sentris", tapi menurut hemat saya, itu bukanlah penyebab utama kekalahan PSI.
Karena, jika PSI sampai masuk ke desa-desa, maka PSI bukan saja akan semakin kalah, tapi "bisa-bisa" pengurusnya akan semakin dimusuhi oleh masyarakat di desa, sebagai analogi bahwa di desa pemilihnya jauh lebih kaku dan konservatif ketimbang di kota alias jauh lebih resisten dalam menerima narasi-narasi politik PSI, apalagi menerima kontroversi-kontroversi yang pernah digaungkan oleh PSI.
Secara sosiologis, kota dan desa sangatlah berbeda. Sosiolog Jerman, Ferdinand Tönnies mengategorikannya ke dalam dua kategori, yakni Gemeinschaft dan Gesellschaft.
Di desa pranata sosial masih sangat dihargai dan ikatan batin masyarakatnya masih sangat kuat, sehingga penghargaan kepada tokoh yang dituakan sangat tinggi.
Kehadiran PSI yang acapkali tabrak sana dan tabrak sini hampir bisa dipastikan akan mendatangkan keresahan sosial tersendiri di desa.
Karena itulah analisa soal kota sentris sangat kurang bisa dijadikan alasan kekalahan PSI. Di kota saja tak mendulang suara, apalagi di desa yang lebih ketat etika sosial dan pakem budayanya toh? Dengan kata lain, ekspansi PSI ke desa tidak akan menjadi kunci kemenangan.
Jadi, nasib PSI memang bukan ketiban sial semata, tapi juga kurang mumpuni dalam memosisikan diri di dalam "kolam" pemilih Jokowi yang sangat besar.
Sehingga strategi dan taktik yang diturunkan dari kesalahan dalam memosisikan diri tersebut juga kurang efektif secara elektoral.
Walhasil, mau tak mau PSI harus rela menerima "sisa makanan elektoral" partai-partai politik besar yang mendukung Jokowi.
Pendeknya, meskipun PSI telah mendapuk Kaesang sebagai Ketum, lalu mengobral nama Jokowi ke sana ke mari, baik dalam narasi spanduk, di dalam billboard, dan di dalam iklan TV, sembari membakar begitu banyak uang politik untuk itu semua, hasilnya, sebagaimana telah kita saksikan, untuk impas pun bagi PSI rasanya sulit, apalagi untung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.