Apalagi, perlawanan Fahri Hamzah, yang dianggap paling sering muncul ke ruang publik sebagai representasi dari perlawanan Anis Matta kepada PKS, bukanlah merupakan perlawanan ideologis, tapi lebih kepada perlawanan dari orang-orang yang berkategori sebagai orang-orang yang terbuang oleh elite baru PKS.
Walhasil, yang didapat Partai Gelora hanya sekelumit "sempalan" PKS, sebagai gambaran betapa kuatnya ikatan ideologi PKS dengan pemilihnya, sehingga hanya sempalan partai saja yang terbuang.
Nah, dalam kacamata inilah bisa dipahami mengapa raihan suara Partai Gelora hanya seputaran nol koma, karena kira-kira sebesar itulah nominal sempalan PKS jika diakumulasikan secara nasional di dalam "ruangan politik elektoral".
Dalam kacamata ini pula mengapa hasil perjuangan PSI agak cukup lebih baik dibanding hasil perjuangan Partai Gelora.
Namun, bernasib lebih baik dari Partai Gelora ternyata tak cukup untuk membawa PSI ke Senayan. Karena untuk lebih baik dari Partai Gelora harus minimal menjadi seperti PKS.
Sialnya, tentu dalam komparasi ini PSI sangat tidak sepadan dengan PKS, meskipun sering kali menjadi "lawan ideologis" PKS di berbagai isu.
Artinya, secara intelektual PSI tak punya "kavling" ideologis seperti PKS. PSI mengalir layaknya air yang dituangkan di hamparan, tanpa memiliki saluran tersendiri untuk mengalir.
Jadi karena "posisi" ideologisnya tak jelas, sulit bagi PSI memosisikan dirinya di dalam lautan massa yang sejak puluhan tahun lalu telah terkavling-kavling secara ideologis oleh partai-partai politik.
Mem-branding diri sebagai partai anak muda, tanpa mencari posisi di dalam percaturan ideologis besar yang sedang berseteru, tentu akan membuat para pemilih muda juga mengalami kebingungan politik saat berhadapan dengan kampanye-kampanye dari PSI.
Pasalnya, menyederhanakan pemilih muda hanya kepada kategori "muda" semata justru mempersulit PSI dalam memetakan pasar, padahal pemilih muda Indonesia tidak terlalu dipersatukan oleh solidaritas umur atau ikatan generasional.
Apalagi dari sisi pemikiran dan isu-isu yang dilempar oleh PSI nyatanya tidak pernah benar-benar mengarah kepada pembelahan pemilih muda dari pemilih tua.
Di sisi lain, partai-partai politik lain, rerata partai besar, yang telah mapan secara elektoral juga berjibaku menggaet pemilih muda dengan jejaring organisasi dan underbow partai politik yang jauh lebih solid ketimbang PSI.
Sangat banyak anak muda yang berkibar namanya di pentas nasional melebihi kebesaran nama anak-anak muda di PSI justru bergabung di partai politik besar.
Asumsi sederhananya, partai politik besar bertemu dengan anak muda yang namanya sudah besar akan sangat berpotensi melahirkan hasil yang jauh lebih besar.
Sementara asumsi sebaliknya terjadi jika bergabung dengan PSI, anak muda yang namanya sudah besar sangat berpotensi berbalik arah menjadi kecil ketika bergabung dengan partai sebesar PSI, baik karena postur organisasinya yang masih kecil atau karena gaungnya yang acapkali kontroversial ketimbang produktif.
Nah, dengan ketidakjelasan "positioning" tersebut, PSI memaksakan diri masuk ke dalam "kolam" pemilih Jokowi yang sebenarnya telah terkavling-kavling secara ketat oleh partai-partai politik besar, baik dari sisi ideologi maupun dari sisi solidaritas organisasional.
Walhasil, jika Partai Gelora mendapatkan "sempalan" PKS, maka PSI hanya mendapatkan "makanan sisa" dari partai-partai politik besar yang mendukung Jokowi.
Bahkan saat Jokowi dan Gibran beralih gerbong politik meninggalkan PDIP sekalipun, PSI masih tetap tak mampu mengambil ceruk pasar Jokowi secara maksimal alias tidak sesuai ekspektasi PSI.
Apalagi, langkah PSI mendapuk Kaesang Pangarep secara aklamasi menjadi ketua umum sama sekali tak memberikan "getaran elektoral" yang berarti. Kaesang memang belum pernah berpolitik sebelumnya yang membuatnya belum benar-benar memiliki basis pemilih yang jelas.
Berbeda dengan Gibran Rakabuming Raka, misalnya, yang sudah pernah wara-wiri di dalam PDIP, berlanjut ke pertarungan elektoral di level kota, lalu membuahkan "kursi" Wali Kota Solo, kota di mana Jokowi mengawali karier politiknya.
Perjalanan tersebut membuat publik lebih mudah mengidentifikasi Gibran sebagai "the real" penerus Jokowi.