Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Kabulkan Praperadilan, Pengacara Helmut: Masih Ada Keadilan di Indonesia

Kompas.com - 27/02/2024, 20:01 WIB
Irfan Kamil,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa Hukum Direktur PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan menegaskan, alat bukti yang digunakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka belum sah menjadi alat bukti.

Hal ini disampaikan Resmen menanggapi putusan praperadilan yang menyatakan status tersangka Helmut Hermawan oleh Komisi Antirasuah itu tidak sah.

“Terkait dengan putusan atau amar yang disampaikan oleh Yang Mulia Hakim tadi jelas bahwa apa yang dilakukan oleh teman-teman penyidik (KPK) bahwa alat bukti yang digunakan untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka itu belum sah menjadi alat bukti,” kata Resmen di PN Jakarta Selatan, Selasa (27/2/2024).

Selain terkait alat bukti, kata Resmen, tindakan lembaga antikorupsi yang menetapkan Hermut Hermawan sebagai tersangka sebelum ditemukan bukti yang cukup juga diklaim bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Pengadilan Batalkan Status Tersangka Helmut, KPK: Substansi Materi Tidak Gugur

Di sisi lain, ia pun mengapresiasi langkah hakim yang dianggap adil dalam memeriksa seluruh bukti dan mempertimbangkan keterangan ahli yang dihadirkan di muka persidangan.

“Kami mengucapkan terima kasih bahwa masih adanya keadilan di Republik Indonesia ini,” tutur Resmen.

Hakim Tunggal Jakarta Selatan Tumpanuli Marbun menyatakan penetapan tersangka Helmut Hermawan oleh KPK tidak sah setelah mempertimbangkan bukti-bukti yang disampaikan dalam gugatan praperadilan melawan penetapan tersangka oleh Komisi Antirasuah.

Menurut Hakim, tindakan KPK menetapkan Helmut sebagai tersangka saat baru mengeluarkan surat perintah Penyidikan (Sprindik) nomor Sprin.Dik/146/DIK.00/01/11/2023 Tanggal 24 November 2023 bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang KPK itu sendiri.

“Karena penetapan tersangka adalah produk atau hasil dari proses penyidikan sedangkan terbitnya sprindik sebagai awal lahirnya wewanang penyidik untuk melakukan penyidikan,” kata Hakim Tumpanuli Marbun.

Baca juga: Status Tersangka Helmut Hermawan Tak Sah, Hakim: KPK Berpotensi Salah Gunakan Wewenang

“Jadi terbitnya sprindik sekaligus penetapan tersangka tersebut di samping tidak sah karena bertentangan dengan hukum acara pidana perbuatan tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang,” kata Hakim.

Adapun gugatan dengan nomor perkara 19/Pid. Prap/2024/PN.JKT.SEL dilayangkan lantaran Helmut tidak terima ditetapkan KPK sebagai tersangka suap terhadap mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.

Hakim berpandangan, KPK belum memiliki setidaknya dua alat bukti yang salah dalam menetapkan Helmut Hermawan sebagai tersangka. Terlebih Komisi Antirasuah ini menjadikan Helmut sebagai tersangka dilanjutkan dengan pencarian alat bukti.

“Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai hukum mengikat,” kata Hakim.

Baca juga: Putusan Praperadilan Helmut Hermawan Digelar, Akankah Lolos dari Jerat KPK?

Dalam gugatannya, petinggi perusahaan tambang itu menilai, KPK selaku termohon telah melanggar prosedur KUHAP dalam proses penyidikan.

Kubu Helmut menyatakan, setidaknya ada tiga alasan permohonan praperadilan ini diajukan ke PN Jakarta Selatan. Pertama, KPK disebut menetapkan Hemut Hermawan sebagai tersangka tidak melalui proses penyidikan.

“Kenyataannya, pemohon telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka baru kemudian termohon mencari bukti-bukti dan melakukan penyitaan yang berhubungan dengan pemohon,” papar Kuasa Hukum Hermawan Resmen Kadapi dalam gugatannya.

Kedua, Helmut disebut tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. Selain itu, KPK disebut tidak memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Direktur PT CLM itu sebagai tersangka.

Baca juga: Sosok Helmut Hermawan, Tersangka Penyuap Eks Wamenkumham Eddy Hiariej

Menurut Resmen, jika KPK memiliki bukti, seharusnya penyidik dapat menunjukan adanya suap dari Helmut kepada Eddy Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baik itu bukti pemberian uang dari untuk kepentingan Helmut di Kemenkumham yang menjadi tugas dan kewenangan seorang Wakil Menteri maupun bukti meeting of main atau kesepakatan penyerahan uang untuk kepentingan hukum di Kemenkumham yang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangan Eddy Hiariej.

“Kami meyakini secara hukum dua bukti yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP yang membuktikan pemohon melakukan suap kepada Prof.Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum., sebagai wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak pernah ada,” kata Resmen.

Diketahui, KPK telah menetapkan Eddy Hiariej dan Helmut sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Kemenkumham pada 7 Desember 2023 lalu.

Tak terima menjadi tersangka, eks Wamenkumham itu lantas mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK ke PN Jakarta Selatan.

Walhasil, status tersangka Guru Besar Hukum Pidana UGM itu telah gugur setelah menang praperadilan di PN Jakarta Selatan pada 30 Januari 2024.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Anies dan Sudirman Said sama-sama ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Anies dan Sudirman Said sama-sama ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Nasional
Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Nasional
Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Nasional
Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Nasional
Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

Nasional
26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

Nasional
Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

Nasional
MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

Nasional
Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com