Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Pemilu 2024: Pembuktian Lembaga Survei

Kompas.com - 14/02/2024, 08:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH Anda percaya sepenuhnya hasil survei perkiraan hasil pemilihan presiden-wakil presiden oleh para lembaga survei?

Pertanyaan demikian selalu relevan ketika kompetisi politik berlangsung, baik kompetisi politik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden secara terbuka.

Terdapat dua peluang: pertama percaya hasil survei karena lembaga survei menempatkan perolehan suara kandidatnya pada pososi teratas, kedua tidak percaya hasil survei lantaran lembaga survei selalu memosisikan perolehan suara kandidatnya pada posisi rendah.

“Permainan angka” hasil survei ibarat dua sisi koin, menyenangkan bagi yang unggul, menyedihkan bagi yang tidak diunggulkan.

Mengapa permainan? Alasannya lembaga survei tidak tunggal misinya. Ada lembaga survei akademis, yang berusaha objektif, netral, tidak berpihak, dan tidak menjadi pemain politik. Ada pula lembaga survei yang subjektif, berpihak, menjadi bagian dari pemain politik.

Masyarakat Indonesia mengenal lembaga survei belum lama, baru sejak 1997. Pertama LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lembaga ini mengenalkan metode hitung cepat (quick count) Pemilu 1997 dan 1999.

Kedua LSI (Lembaga Survei Indonesia), yang mengenalkan tracking perilaku politik kandidat dan pemilih, serta hitung cepat.

Bagaimana menunjukkan lembaga survei netral dan tidak netral atau berpihak dan tidak berpihak pada kandidat?

Mari baca hasil penelitian Marcus Mietzner pada tulisan Political opinion polling in post-authoritarian Indonesia: Catalyst or obstacle to democratic consolidation?, yang diterbitkan jurnal JSTOR pada 2009.

Peneliti muda asal Australia pada saat itu, meriset perilaku politik di Indonesia mulai 1999, dan hasilnya menjadi disertasi. Kini, Indonesianis itu berstatus Associate Professor di Australian National University.

Mietzner menggambarkan, lembaga survei sebagai lembaga baru yang tidak diperhitungkan oleh para elite politik, komisaris partai, dan masyarakat di Indonesia pada Pemilu 1997 dan 1999. Survei dan hasil hitung cepat LP3ES diabaikan dan dibiarkan berlaku untuk dilupakan.

Publikasi-publikasi hasil survei maupun hitung cepat tidak berarti bagi dinamika politik dan fakta-fakta hasil riset yang mereka publikasikan sekadar sebagai informasi biasa, yang tidak terlalu penting.

Mengapa? Para politisi masih berpikir bahwa konstelasi politik dan keterpilihan anggota legislatif maupun presiden ditentukan oleh lobi-lobi atau negosiasi antar-elite politik. Angka hasil pemilihan sebagai “bunga-bunga” proses penentuan siapa melaju ke Senayan (DPR).

Menjelang Pemilu 2004, perubahan sikap terhadap survei mulai terjadi. Para elite mulai memperhitungkan lembaga survei dan produk kerja mereka. Sejalan dengan penerimaan secara positif terhadap survei, maka tujuan lembaga survei mengalami dinamika.

Di satu sisi, lembaga survei memosisikan sebagai lembaga intelektual, akademik yang bertugas untuk mengukur elektabilitas calon, partai, dan membuat informasi ke publik tentang elemen-elemen pemilu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com