Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Jika "Dirty Vote" Diabaikan, dengan Apa Lagi Publik Bisa "Check and Balance"?

Kompas.com - 13/02/2024, 12:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HANYA dalam 24 jam sejak tayang perdana pada Minggu (11/2/2024) jam 11.11, sudah 6 juta penonton "Dirty Vote" di YouTube.

Mengapa bisa seramai itu? Orang ingin lihat gebrakan kembali dari seorang jurnalis kawakan, Dandhy Laksono, jelang pencoblosan? Faktor tiga narasumber yang keren? Atau estetika audio visual?

Bagi penulis, dengan cepat jawabannya: Sebab mampatnya saluran demokrasi dan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan petahana.

Selebihnya, ada gejala kejengahan publik atas respons pemerintahan petahana kepada mereka yang bersuara --kita sebut saja teknik "Kill The Messenger" jika menggunakan pendekatan ilmu komunikasi publik.

Betapa tidak. Jangankan selevel tiga narasumber ahli hukum tata negara di "Dirty Vote" (yang kebetulan ketiganya belum profesor), dekrit bertubi-tubi para guru besar hampir 50 kampus se-Indonesia, sepanjang pekan lalu pun, dianggap partisan oleh salah satu kubu.

Alih-alih berterima kasih kepada para cendekiawan yang turun gunung, malah kemudian disemburkan tuduhan dangkal dan mengkerdilkan keluasan penguasaan ilmu pengetahuan.

Tepatlah yang disampaikan Prof Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar UI saat dituding partisan.

"Kami bukan buzzer. Kami tidak punya kepentingan politik. Kami tidak punya kepentingan untuk mendapatkan jabatan. Keinginan kami hanya untuk Indonesia. Kita itu sudah tua yah, sebentar lagi akan masuk kubur. Apakah kami akan membiarkan. Kami tidak tega melihat masyarakat dalam satu suasana yang tidak jelas," tegasnya, dilansir banyak media daring, pekan lalu.

Demikian sekarang, dua jam setelah film "Dirty Vote" dirilis, semburan fitnah mematikan pengirim pesan juga kontan diluncurkan tim salah satu capres-cawapres yang modelnya sama saja, yakni meragukan kredibilitas tiga akademisi narasumber film tersebut.

Alih-alih mementahkan data dengan data kuat (jika dokumenter sejenis sulit dibuat cepat), maka jurus "Kill The Messenger" juga kembali diluncurkan.

Seperti orkestrasi, pola meragukan kredibilitas ini kemudian diikuti oleh para simpatisan kubu tersebut.

Padahal, apa yang mau dibantah dari jejak rekam mereka bertiga. Bivitri Susanti adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, lulusan Pascasarjana Hukum Harvard Kennedy.

Ia juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), lembaga penelitian dan advokasi reformasi hukum yang dipicu peristiwa Mei 1998.

Zainal Arifin Mochtar adalah Dosen Hukum Tata Negara UGM, lulusan magister hukum Northwestern University, Amerika Serikat.

Ia pernah menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (2007); Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT), Fakultas Hukum UGM (2008-2017); dan Anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar berdasarkan Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 35 Tahun 2020 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com