Terakhir Feri Amsari merupakan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas yang alumni magister William and Mary Law School, Virginia, serta Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Memang, metode "Kill The Messenger" di negara ini relatif masih halus. Masih mending dibandingkan, misalnya, Stalin yang melakukan Great Purge pada pemikir, penulis, seniman, insinyur, perwira militer, politisi, dll, yang kritis dengan korban jiwa estimasi 700.000 sampai 1,2 juta orang.
Kemudian, Mao mengasingkan kalangan intelektual untuk bekerja kasar di desa terpencil dalam Revolusi Kebudayaan dengan korban 500.000 hingga 2 juta orang.
Pun demikian, bukan berarti teknik ini dibenarkan karena tetap pada akhirnya suara rakyat adalah suara Tuhan yang layak diberikan ruang pendengaran terbaik oleh penguasa di manapun.
Penulis mencatat, dari 15 fragmen dalam film dokumenter yang satu ini, sejatinya kritikan dan masukan konstruktif sudah intens diberikan sebelumnya oleh para pemikir bangsa ini.
Jadi, apa yang dilakukan Bivitri, Zainal, dan Feri, hanyalah mempertegas perlunya arah bangsa ini dikoreksi oleh mereka yang berilmu.
Sebut, misalnya, fragmen kedua film terkait penunjukan 20 PJ gubernur dan 82 PJ wali kota/bupati oleh Presiden Jokowi sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana.
Hal ini sudah sering kita dengar masukannya, bukan hanya dari aktivis masyarakat, tapi juga dari anggota Dewan di DPR RI yang memang bertugas mengawasi jalannya eksekutif.
Lalu, fragmen kelima, keenam, dan ketujuh. Masing-masing soal deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.
Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu.
Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada kepala desa agar mendukung capres-cawapres tertentu menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung.
Bukankah persoalan dana desa dan kepala desa juga sudah banyak disuarakan NGO di Indonesia, bahkan sejak periode pertama Jokowi?
Fragmen film ke delapan dan kesembilan soal penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat selevel menteri untuk kepentingan politik yang nyata terjadi di lapangan, dan seiring peningkatan tajam dana bansos menjelang pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.
Hal ini sudah sering jadi sasaran kritik, baik di media massa maupun media sosial. Baik oleh elite politik sampai warga biasa yang dengan mudah melihat ketidakwajaran kondisi ini.
Bahkan, fragmen film ke-sepuluh, yakni data by name by address dari Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan yang menunjukkan indikasi kecurangan.