Salin Artikel

Jika "Dirty Vote" Diabaikan, dengan Apa Lagi Publik Bisa "Check and Balance"?

Mengapa bisa seramai itu? Orang ingin lihat gebrakan kembali dari seorang jurnalis kawakan, Dandhy Laksono, jelang pencoblosan? Faktor tiga narasumber yang keren? Atau estetika audio visual?

Bagi penulis, dengan cepat jawabannya: Sebab mampatnya saluran demokrasi dan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan petahana.

Selebihnya, ada gejala kejengahan publik atas respons pemerintahan petahana kepada mereka yang bersuara --kita sebut saja teknik "Kill The Messenger" jika menggunakan pendekatan ilmu komunikasi publik.

Betapa tidak. Jangankan selevel tiga narasumber ahli hukum tata negara di "Dirty Vote" (yang kebetulan ketiganya belum profesor), dekrit bertubi-tubi para guru besar hampir 50 kampus se-Indonesia, sepanjang pekan lalu pun, dianggap partisan oleh salah satu kubu.

Alih-alih berterima kasih kepada para cendekiawan yang turun gunung, malah kemudian disemburkan tuduhan dangkal dan mengkerdilkan keluasan penguasaan ilmu pengetahuan.

Tepatlah yang disampaikan Prof Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar UI saat dituding partisan.

"Kami bukan buzzer. Kami tidak punya kepentingan politik. Kami tidak punya kepentingan untuk mendapatkan jabatan. Keinginan kami hanya untuk Indonesia. Kita itu sudah tua yah, sebentar lagi akan masuk kubur. Apakah kami akan membiarkan. Kami tidak tega melihat masyarakat dalam satu suasana yang tidak jelas," tegasnya, dilansir banyak media daring, pekan lalu.

Demikian sekarang, dua jam setelah film "Dirty Vote" dirilis, semburan fitnah mematikan pengirim pesan juga kontan diluncurkan tim salah satu capres-cawapres yang modelnya sama saja, yakni meragukan kredibilitas tiga akademisi narasumber film tersebut.

Alih-alih mementahkan data dengan data kuat (jika dokumenter sejenis sulit dibuat cepat), maka jurus "Kill The Messenger" juga kembali diluncurkan.

Seperti orkestrasi, pola meragukan kredibilitas ini kemudian diikuti oleh para simpatisan kubu tersebut.

Padahal, apa yang mau dibantah dari jejak rekam mereka bertiga. Bivitri Susanti adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, lulusan Pascasarjana Hukum Harvard Kennedy.

Ia juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), lembaga penelitian dan advokasi reformasi hukum yang dipicu peristiwa Mei 1998.

Zainal Arifin Mochtar adalah Dosen Hukum Tata Negara UGM, lulusan magister hukum Northwestern University, Amerika Serikat.

Ia pernah menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (2007); Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT), Fakultas Hukum UGM (2008-2017); dan Anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar berdasarkan Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 35 Tahun 2020 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Terakhir Feri Amsari merupakan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas yang alumni magister William and Mary Law School, Virginia, serta Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Memang, metode "Kill The Messenger" di negara ini relatif masih halus. Masih mending dibandingkan, misalnya, Stalin yang melakukan Great Purge pada pemikir, penulis, seniman, insinyur, perwira militer, politisi, dll, yang kritis dengan korban jiwa estimasi 700.000 sampai 1,2 juta orang.

Kemudian, Mao mengasingkan kalangan intelektual untuk bekerja kasar di desa terpencil dalam Revolusi Kebudayaan dengan korban 500.000 hingga 2 juta orang.

Pun demikian, bukan berarti teknik ini dibenarkan karena tetap pada akhirnya suara rakyat adalah suara Tuhan yang layak diberikan ruang pendengaran terbaik oleh penguasa di manapun.

Aspirasi mandek

Penulis mencatat, dari 15 fragmen dalam film dokumenter yang satu ini, sejatinya kritikan dan masukan konstruktif sudah intens diberikan sebelumnya oleh para pemikir bangsa ini.

Jadi, apa yang dilakukan Bivitri, Zainal, dan Feri, hanyalah mempertegas perlunya arah bangsa ini dikoreksi oleh mereka yang berilmu.

Sebut, misalnya, fragmen kedua film terkait penunjukan 20 PJ gubernur dan 82 PJ wali kota/bupati oleh Presiden Jokowi sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana.

Hal ini sudah sering kita dengar masukannya, bukan hanya dari aktivis masyarakat, tapi juga dari anggota Dewan di DPR RI yang memang bertugas mengawasi jalannya eksekutif.

Lalu, fragmen kelima, keenam, dan ketujuh. Masing-masing soal deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.

Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu.

Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada kepala desa agar mendukung capres-cawapres tertentu menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung.

Bukankah persoalan dana desa dan kepala desa juga sudah banyak disuarakan NGO di Indonesia, bahkan sejak periode pertama Jokowi?

Fragmen film ke delapan dan kesembilan soal penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat selevel menteri untuk kepentingan politik yang nyata terjadi di lapangan, dan seiring peningkatan tajam dana bansos menjelang pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.

Hal ini sudah sering jadi sasaran kritik, baik di media massa maupun media sosial. Baik oleh elite politik sampai warga biasa yang dengan mudah melihat ketidakwajaran kondisi ini.

Bahkan, fragmen film ke-sepuluh, yakni data by name by address dari Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan yang menunjukkan indikasi kecurangan.

Fragmen 11 dan 12, yakni keterlibatan menteri dan timses capres dalam kampanye politik di luar aturan yang ada serta ketidaknetralan presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye yang nyata melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan.

Soal ini apalagi? Kalau disimak headline, atau tema talkshow politik di TV-TV nasional, rasanya pembahasan prokontra hal ini tidak pernah ada habisnya.

Sekuens beralih ke adegan utama ke-13 dan 14 tentang kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu serta beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu.

Jika diperhatikan suara dari lembaga sipil pengawas Pemilu seperti Perludem, Netgrit, DEEP, dst, selalu bersuara keras soal integritas penyelenggara ini.

Fragmen terakhir, tentu saja biang kerok semua kebisingan hari ini adalah masalah integritas di Mahkamah Konstitusi, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial yang akhirnya menodai legitimasi MK.

Maka itu, dengan melihat semua rangkaian kronologi ini, serta centang perenangnya etika politik Indonesia mutakhir, penulis hendak bertanya: Jika Dirty Vote tak kau hirau, bahkan dinistakan, dengan apa lagi publik bisa check & balance?

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/13/12145971/jika-dirty-vote-diabaikan-dengan-apa-lagi-publik-bisa-check-and-balance

Terkini Lainnya

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Nasional
Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Nasional
Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Nasional
Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Nasional
Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Nasional
Saat 'Food Estate' Jegal Kementan Raih 'WTP', Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Saat "Food Estate" Jegal Kementan Raih "WTP", Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Nasional
Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Nasional
Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Nasional
Nasib Pilkada

Nasib Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke