Pergeseran dinamis ini mengkhawatirkan, menandakan adanya hubungan transaksional antara negara dan warganya. Kesejahteraan bukanlah hak, melainkan mata uang politik.
Data dan tren beberapa tahun terakhir, menggambarkan pola yang mengkhawatirkan ini. Alokasi bansos meningkat secara signifikan pada tahun-tahun pemilu, dengan anggaran perlindungan sosial tahun 2024 yang melonjak hingga Rp 496,8 triliun, meskipun tidak ada pandemi atau krisis serupa.
Lonjakan belanja kesejahteraan sosial yang bertepatan dengan masa pemilu menimbulkan kecurigaan akan adanya 'politik gentong', di mana sumber daya negara digunakan untuk menggalang dukungan politik.
Lebih berbahaya lagi, cara distribusi bansos di bawah rezim Jokowi - sering kali melalui pembagian langsung yang disertai dengan pesan-pesan politik - telah mengubah program-program ini menjadi kampanye halus untuk pemerintah petahana.
Praktik ini telah dicatat dalam beberapa kasus, seperti distribusi bantuan oleh tokoh-tokoh politik terkemuka, termasuk Menteri Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan, yang memiliki hubungan dengan kampanye Prabowo-Gibran.
Politisasi ini melampaui konteks yang ada dan sangat memengaruhi ekonomi politik dan struktur demokrasi itu sendiri.
Ketika bantuan sosial digunakan sebagai iming-iming untuk mendapatkan suara, hal ini tidak hanya melecehkan hak pilih, tetapi juga mengikis nilai-nilai dasar demokrasi.
Taktik ini melemahkan konsep pilihan berdasarkan informasi yang merupakan pilar dari pemilu demokratis, mereduksi keputusan politik kompleks menjadi transaksi yang didasarkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak.
Dari sudut pandang ekonomi, alokasi strategis bansos yang dikaitkan dengan siklus politik dapat salah mengalokasikan sumber daya.
Dana yang seharusnya dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek pembangunan jangka panjang atau program-program kesejahteraan yang lebih berkelanjutan justru disalurkan untuk pemberian bantuan jangka pendek yang bermotif politik.
Pendekatan ini dapat menyebabkan lingkaran setan di mana isu-isu sosio-ekonomi yang sebenarnya, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, tidak diatasi secara struktural, tetapi untuk sementara waktu ditutupi dengan skema-skema kesejahteraan yang melayani kepentingan politik sesaat.
Selain itu, praktik ini dapat menimbulkan budaya ketergantungan, di mana masyarakat memandang pemerintah bukan sebagai fasilitator pemberdayaan, melainkan sebagai pemberi bantuan yang terus menerus.
Budaya seperti ini melemahkan semangat kemandirian dan menghambat pengembangan ekonomi yang kuat dan mandiri.
Kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintah dapat terkikis secara signifikan ketika program-program kesejahteraan dipolitisasi.
Warga negara mungkin mulai melihat lembaga-lembaga ini bukan sebagai entitas yang tidak memihak yang melayani kepentingan bersama, melainkan sebagai alat untuk meraih keuntungan politik.