Sesuatu yang jelas merefleksikan pemaksaan sentralisasi politik mengingat, alih-alih beras, jagung dan sagu sebenarnya sudah terlebih dulu menjadi bahan konsumsi sehari-hari di sana.
Kedua, pangan juga bisa digunakan untuk menunjukkan betapa politik, yang fleksibel, ternyata bisa melangkahi urusan-urusan pemerintahan yang kaku dan one way.
Kebijakan Food Estate misalnya, jelas menjadikan pangan sebagai substansi. Tetapi alih-alih diberikan kepada kementerian terkait untuk dikelola sebagaimana mestinya, Food Estate di Indonesia malah diurus oleh kementerian yang tidak langsung terkait dengan pangan.
Politik, dalam konteks ini, sedang mengobrak-abrik logika pemerintahan.
Ketiga, tidak bisa dipungkiri bahwa makanan juga bisa menjadi ide dasar dari berbagai program kerja Pemerintah.
Melalui sifat positifnya yang bergizi dan menyehatkan, makanan kemudian dipilih sebagai alat untuk menunjukkan political will suatu kementerian untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat.
Program bantuan telur dan daging yang dilakukan oleh banyak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mencegah stunting adalah salah satu contohnya.
Baik di tingkat masyarakat, elektoral maupun negara, makanan ternyata punya kemampuan untuk memproduksi implikasi politik.
Tentu, situasi dan kondisinya tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Hanya saja, biasanya, semakin dekat dengan negara, fungsi politik makanan akan menjadi semakin prosedural.
Akhirnya, kekuasaan, yang sebetulnya terjadi di mana-mana dan tidak hanya terkait dengan Pemilu dan partai politik (parpol), jadi mudah untuk muncul ke permukaan karena sedikit banyak dibantu oleh makanan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.