JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau parlemen seperti tengah tertidur di awal tahun 2024.
Para anggota dewan tampaknya tidak memiliki kegiatan terkait legislasi di tengah masa kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Diketahui, masa kampanye dimulai pada 28 November 2023 dan akan berakhir pada 10 Februari 2024.
Tak seperti sebelum masa Pemilu, DPR selalu menyampaikan jadwal agenda rapat setiap harinya kepada wartawan. Jadwal ini pun bisa diakses publik melalui situs resmi DPR.
Namun, sudah dua minggu ke belakang, tidak ada jadwal agenda yang diberikan.
Baca juga: Jokowi Masih Sibuk Kunker di Jateng, Surpres Pengganti Firli Bahuri Belum Dikirim ke DPR
Melihat sepinya DPR, kritik mulai berdatangan, salah satunya dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai kosongnya DPR di masa kampanye sungguh memalukan.
"Ini memalukan sih sesungguhnya. DPR yang seharusnya menggunakan masa sidang untuk bersidang malah memanfaatkannya untuk kampanye. Lebih memalukan lagi karena mereka pasti tak akan jujur mengatakan kepada rakyat kalau mereka semua sedang membolos dari ruang sidang," kata Lucius kepada Kompas.com, Selasa (30/1/2024).
Lucius kemudian menilai bahwa DPR sudah memiliki rekam kinerja yang buruk sepanjang 2023.
Hal itu, dilihatnya dari produk legislasi yang dihasilkan DPR pada 2023 hanya lima Undang-Undang (UU).
"Hanya menghasilkan lima dari 37 RUU (Rancangan Undang-Undang) prioritas, nampaknya akan semakin parah di tahun 2024 ini," ujar Lucius.
Baca juga: Menpan-RB Sebut RUU DKJ Akan Dibahas di DPR pada 6 Februari 2024
Menurut Lucius, jika rapat-rapat masih kosong, maka masa sidang III periode 2023-2024 ini bisa saja dikenang dengan periode tanpa hasil di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"Tetapi juga masa sidang yang tak ada sidangnya," kata Lucius.
Berkaca pada sepinya DPR di masa kampanye, Lucius pun mengaitkannya dengan kritik untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden boleh berkampanye dan berpihak pada pemilu.
Dari situ, Lucius melihat bahwa persoalan etika, bukan hanya masalah Presiden saja.