Masyarakat sudah hidup mengakar di wilayahnya, di sana mereka dilahirkan, tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat hukum adat yang kuat.
Di sana juga mereka hidup dan mati serta dikuburkan, tentu ini menjadi ikatan yang tidak dapat dilepaskan dengan mudah. Oleh sebab itu, seharusnya, pemerintah memberikan hak pengakuan tanah adat, bukan sertipikat hak milik.
Terhadap tanah adat atau tanah ulayat, seharusnya cukup pencatatan secara adminsitrasi tanpa sertipikat. Hal ini bertujuan agar tanah yang menjadi budaya leluhur bangsa Indonesia tetap ada.
Penerbitan sertipikat hak milik atas tanah adat hanya akan menyebabkan hilangnya keberadaan masyarakat hukum adat yang selama ini selalu terjaga karena adanya tanah ulayat.
Untuk pencatatan secara administrasi, konsep desa adat di Bali, seharusnya dapat menjadi contoh, di mana desa adat bisa jadi subyek milik tanah adat.
Meski tak ada cantolan hukum, KATR/BPN masa kepemimpinan Sofyan Djalil membuat peraturan yang memungkinan desa adat bisa menjadi subyek milik.
Saat ini, skema yang sama juga tengah diupayakan untuk diterapkan terhadap Suku Baduy. Skema seperti itu seharusnya lebih masif diterapkan dalam upaya untuk melindungi masyarakat hukum adat di daerah lain.
Dalam hal ini, yang diperlukan oleh masyarakat hukum adat adalah pengakuan atas wilayah adatnya, bukan pengakuan sektoral sebagai hak milik individu.
Tanah dalam konteks masyarakat hukum adat adalah milik komunal, sementara individu hanya memiliki hak untuk mengelola.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nico Wamafma dari Greenpeace Indonesia dalam tulisan berjudul “Terbitkan Sertifikat HPL di Wilayah Adat, Menteri ATR/BPN Tuai Kritik” (2/11/23), bahwa yang dibutuhkan masyarakat adat adalah pengakuan atas eksistensi dan wilayah adat mereka.
Nico menambahkan bahwa wilayah adat tak boleh dilihat sepotong-sepotong. Kampung, hutan, kebun, air yang mengalir, sumber daya alam semua terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah adat.
Terkait dengan kewajiban pembayaran pajak, pencatatan administrasi dalam bentuk tanah komunal/kaum/suku tidak bisa dijualbelikan. Hal ini erat kaitannya dengan status tanah adat yang tidak dapat dikomersialisasikan.
Selain itu, tanah adat tidak seharusnya dibebankan kewajiban membayar pajak, sebab pencatatan administrasi yang dilakukan bertujuan mempertahankan budaya dan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.
Namun demikian, bukan berarti status tanah adat sepenuhnya meniadakan pembayaran pajak. Hanya saja konsepnya yang berbeda.
Dalam kontek tanah ulayat atau tanah adat, kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunannya melekat pada pengelola, dalam artian siapa yang menggarap dia yang bertanggung jawab membayar kewajiban pajaknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.