Selain itu, pertemuan tersebut juga diklaim membahas arah NU, berangkat dari sejarah panjang persinggungan ormas Islam terbesar itu dengan gelanggang politik, mulai dari berpartai pada tahun 1955, difusi ke dalam PPP pada 1973, kembali ke khittah pada tahun 1984, melahirkan PKB pada 1998, sampai pelengseran Abdurrahman Wahid pada 2001 dan dilibatkannya Ma'ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo pada 2019.
Ipul juga menyinggung bahwa alasan-alasan yang sama melatarbelakangi seruannya tempo hari agar tidak memilih calon yang didukung Abu Bakar Ba'asyir. Baasyir diketahui mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
"Boleh dong kasih arah, diskusi di kalangan internal kan boleh. Pastikan ini semua menjadi referensi kita sebelum kita menentukan pilihan. Itu semua memang kenapa? Kalau saya menyatakan--mohon maaf saya tetap menghormati perbedaan dan menghormati Ustad Abu Bakar Ba'asyir, tapi kami beda dasar untuk menentukan siapa calon presiden," ungkapnya.
"Kita tetap menyarankan, pilihlah yang memang se-anu dengan kita dan tidak mengecewakan kita setelah menang," ujar Ipul.
Ia juga membantah kabar bahwa Miftachul Akhyar memohon agar para hadirin dalam pertemuan itu "untuk kali ini saja mendengar dan patuh", apalagi jika ucapan itu dikaitkan sebagai permintaan untuk mendukung calon tertentu.
"Rais aam hanya memberikan arahan yang harus dipahami dengan cabang dan wilayah. Kalau ada (pengurus) cabang yang salah paham berarti memang cabang/wilayahnya sudah punya kepentingan, tidak bisa objektif lagi," kata Ipul.
Dugaan pengerahan pengurus PBNU untuk politik praktis ini diungkapkan eks Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Australia Nadirsyah Hosen.
Gus Nadir, sapaan akrabnya, menduga bahwa pengerahan ini bagian dari upaya memenangkan calon presiden-wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
"Kenapa pernyataan resmi (Yahya Staquf) menyatakan netral, tapi ternyata beberapa waktu lalu, PBNU mengumpulkan pengurus wilayah, cabang, rais syuriyah dan ketua tanfidziah di Hotel Bumi di Surabaya. Memang tidak ada pernyataan resmi, atau surat, tapi dikumpulkan. Kemudian secara masif struktur itu diperintahkan mendukung 02," ungkap Nadir dalam wawancara di kantor Redaksi Kompas.com.
Nadir sendiri tak hadir dalam pertemuan itu, namun mengaku memperoleh informasi dan telah mengkonfirmasinya secara berlapis kepada para kiai yang hadir bahwa Miftachul Akhyar sampai memohon agar perintah itu ditaati.
Baca juga: Gus Yahya Bantah Kerahkan NU untuk Dukung Prabowo-Gibran: Tak Ada Bukti Apapun
"Tolong sekali ini saja sa'man wa tho'atan," ujarnya menirukan ucapan yang diklaim keluar dari mulut Miftachul.
"Jadi harus mendengar dan taat. Tradisi NU adalah pernyataan rais aam akan ditaati. Beliau tidak perlu menggunakan diksi seperti memohon. Dawuh beliau akan diikuti karena beliau rais aam. Tapi kenapa? Kenapa sampai terkesan meminta, bukan menginstruksikan?" imbuhnya.
Dalam pertemuan itu, menurut Nadir, PBNU juga tidak memberikan landasan keagamaan mengapa harus mendukung calon tertentu yang disinyalir Prabowo-Gibran, padahal setiap kali langkah NU selalu dilandasi oleh dasar fikih.
"Tapi ada alasan-alasan rasional yang disebutkan Gus Yahya--menurut cerita yang hadir pada saat itu--bahwa misalnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran terhadap paslon tertentu di mana kelompok ekstrem ada di belakangnya," ucap Nadir.
Baca juga: Dinamika NU dan Deretan Pengurus yang Dicopot Jelang Pemilu 2024
"Kemudian juga disampaikan bahwa kita ikut Pak Jokowi karena Pak Jokowi sudah banyak membantu NU, banyak program pemerintah yang di-MoU-kan untuk keterlibatan NU, dan karena Pak Jokowi cenderung ke 02 ya kita ikut. Untungnya kita kenapa? Pak Jokowi sudah--saya mengutip ya--menjanjikan untuk konsesi pertambangan yang sudah berjalan dan baru akan dapat 6 bulan lagi. Berarti lebih kental nuansa manfaatnya untuk NU ketimbang landasan fikihnya," jelas dia.
Walaupun merasa mencari "manfaat" dari sebuah proses politik tidak ada salahnya, namun, kata Nadir, hal ini bermasalah karena NU bukan partai politik, melainkan organisasi kemasyarakatan.
NU dikhawatirkan tidak lagi dapat menjadi unsur perekat bangsa karena keberpihakannya pada kandidat tertentu dalam kontestasi elektoral.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.