Artinya, konflik pembebasan lahan tidak akan pernah terjadi apabila Pemerintah tidak absen dalam hal melindungi dan melupakan nilai-nilai luhur keterikatan masyarakat hukum adat dengan tanahnya.
Dalam hal penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum bangsa Barat datang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kehidupan masyarakat teritorial yang terkotak-kotak ke dalam lingkungan masyarakat hukumnya, adat budaya dan tempat kediamannya masing-masing, dengan mempunyai kekuasaan dan harta kekayaan sendiri-sendiri pada kerajaan-kerajaan sudah berlangsung secara teratur (Sidharta, 1999: 34).
Sementara dalam hal tanah negara, secara historis hanyalah tanah yang meliputi tanah-tanah yang berasal dari hak barat (Hindia Belanda dan Jepang).
Terhadap tanah di luar itu, negara hanya sebagai organisasi pengelola dan pengadministrasian aset di luar hak barat yang sudah menjadi milik negara tersebut.
Seperti di Yogyakarta tanah grand sultan yang menjadi milik sultan atau di Sumatera Barat ada hak ulayat yang menjadi milik kaum/atau suku dalam adat tersebut.
Secara konstitusional, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Redaksional ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyiratkan bahwa negara diberi kewenangan dan kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan, mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional, yaitu: “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dalam hal pemaknaan ‘hak menguasai negara’, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan menyatakan bahwa penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat atas segala sumber kekayaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan empat tolak ukur.
Yaitu, pertama, pemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam.
Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Keempat, prasyarat yang diberikan MK sebagaimana tersebut di atas tidak terlihat dalam penerbitan Perpres 78/2023.
Semangat yang diwadahi dalam peraturan tersebut masih kepentingan investor tanpa memedulikan nilai-nilai luhur masyarakat hukum adat.
Padahal, bila saja Pemerintah mau sedikit berkompromi, misalnya: dengan skema bagi hasil tanpa masyarakat harus melepaskan kepemilikan lahannya, mungkin jumlah konflik yang disebabkan oleh PSN dapat ditekan.
Selain itu, dengan mekanisme ini, masyarakat juga dapat memiliki aset yang tetap dapat memberikan nilai ekonomi secara terus menerus layaknya hak atas tanah yang dikelola secara turun temurun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.